MATA INDONESIA, DEN HAAG – Kisah soal The Tulipomania (Tulip Mania) yang terjadi di Belanda tahun 1636 ini menarik dan bisa menjadi contoh. Apalagi gara-gara bunga tulip ini bisa membuat Belanda menjadi bangkrut.
Seorang penulis asal Skotlandia, Charles Mackay, menulis fenomena banyak orang rela menghabiskan gaji mereka selama setahun hanya untuk memiliki umbi langka dari tulip,. Dengan harapan agar dapat dijual kembali, dan meraup keuntungan yang berlipat-lipat ganda. Mackay pun menjuluki fenomena ini sebagai: The Tulipomania (Tulip Mania) dan sekarang menjadi satu istilah dalam ilmu ekonomi.
Nah anehnya, bunga ini juga bukan tanaman khas Belanda. Kehadiran bunga tulip di benua Eropa berasal dari benih dan biji pemberian Kekaisaran Ottoman Turki. Benih dan biji itu dibawa perwakilan Ferdinand I (Kaisar Roman), Ogier de Busbecq pada tahun 1554 . Ia kemudian menyebarkannya ke beberapa kota penting di Eropa: Vienna, Augsburg, Anrtwerp, dan Amsterdam.
Karena bunganya unik, maka banyak orang menyukai dan kemudian menanamnya di pekarangan rumah. Sekitar tahun 1593 ahli botani Carolus Clusius mendirikan pos penelitian di Leiden guna menanam serta mengembangkan benih maupun biji tulip supaya mampu berdaptasi. Alhasil, tak lama kemudian tulip mulai tumbuh dan popularitasnya menanjak di kalangan khalayak ramai.
Banyak orang mencari bibit Bunga Tulip karena langka dan eksotis. Tulip menjadi incaran para Hortikulutura dan ahli botani termasuk Carolus Clusius. Ia kemudian fokus untuk mempelajari Tulip. Ia tertantang untuk menghasilkan aneka jenis tulip hasil persilangan dengan berbagai pola warna.
Salah satu pola aneh yang dianggap langka adalah bunga tulip berpola belang dengan dua atau lebih jenis warna. Namun, seiring berjalannya waktu para ahli botani akhirnya mengetahui kalau ternyata penyebab warna tulip menjadi belang karena virus yang membuat tulip itu mengalami saki. Sehingga tidak dapat dengan sempurna mengeluarkan warna dan terjadi kebelangan.
Para ahli botani melihat hal tersebut indah dan mulai berlomba-lomba membiakan kultivar tulip baru yang lebih unik dan indah. Pada awalnya para ahli botani Belanda saling memamerkan kultivar yang telah mereka hasilkan di antara mereka sendiri. Mereka membentuk jaringan antar ahli botani yang saling mempertukarkan umbi induk tulip dan kultivarnya. Namun, lama kelamaan jaringan penggemar tulip ini berkembang dan permintaan akan kultivar tulip ini muncul juga dari mereka yang bukan ahli botani, yaitu para penggemar bunga biasa.
Dari Mulut ke Mulut.
Orang-orang tajir Belanda yang hidup bergelimang uang itu mulai tertarik untuk mengoleksi bunga tulip. Salah satu kultivar saat itu adalah kultivar tulip penemuannya Clusius. Pada tahun 1623 ada orang tajir yang berani menawar 10 umbi kultivar penemuan milik Clusius dengan uang sejumlah 12.000 gulden. Uang sebanyak itu sudah lebih dari cukup untuk membeli sebuah rumah mewah di Kota Amsterdam saat itu. Kabar tentang keindahan tulip penemuan Clusius, serta dengan harganya yang luar biasa mahal dengan cepat menyebar ke tengah masyarakat.
Hal ini semakin menarik rasa keingintahuan orang. Apalagi ada bumbu kisah keindahan, kelangkaan, dan prestise. Orang makin penasaran untuk ingin tahu dan memiliki bunga tulip. Beberapa orang melihat ini sebagai peluang bisnis. Perburuan terhadap kultivar tulip ini pun dimulai.
Umbi tulip menjadi barang berharga yang dicari banyak orang. Di tahun 1633, umbi tulip menjadi semacam mata uang untuk bertukar dengan barang berharga lainnya. Rumah mewah, lahan pertanian, dan peternakan dengan mudah berpindah tangan demi segenggam umbi tulip.
Demam tulip semakin menggiurkan seiring terdengarnya kabar tentang orang-orang yang kaya mendadak dari hasil berjual beli umbi bunga tulip. Saking gilanya, satu buah umbi tulip penemuan Clusius harganya mencapai 5.000 gulden dan pada tahun 1637. Harga tersebut naik dua kali lipat menjadi 10.000 gulden.
Para sejarawan menggambarkan nilai tersebut saat itu cukup untuk memberi makan beberapa keluarga selama beberapa puluh tahun atau uang tersebut cukup untuk membeli rumah mewah di wilayah elite Amsterdam, sebuah rumah mewah dengan taman indah di depannya. Padahal saat itu, nilai properti di Amsterdam adalah yang paling mahal di dunia.
Puncak dari fenomena ini adalah “Tulip Mania” yang terjadi selama tahun 1636 hingga awal tahun 1637. Masyarakat dari berbagai kalangan, tak peduli bangsawan, tentara, tukang sepatu, tukang kayu, tukang batu, dan penebang pohon, semua terlibat pada kegilaan akan bunga tulip ini. Saking cepatnya perdagangan umbi tulip, sebuah umbi tulip dapat berpindah tangan 10 kali dalam sehari. Seperti halnya kemunculannya yang misterius, demam tulip seolah menghilang dalam semalam.
Pada awal februari 1637, pasar tulip mulai kolaps. Harga tulip yang sudah tidak terjangkau lagi membuat permintaan menurun. Tanpa permintaan harga bunga tulip mulai turun dengan cepat. Orang-orang mulai menjual koleksi tulip mereka dan dampaknya terlalu banyak penawaran barang yang membuat harga semakin hancur tak terkendali. Yang terjadi kemudian adalah bencana finansial bagi sebagian besar mereka yang terlibat bisnis tulip.
Persengketaan karena krisis finansial makin sering terjadi terutama terkait hutang. Banyak orang mendadak jatuh miskin hanya dalam waktu semalam. Fenomena tulip mania berakhir dengan kisah sedih bagi sebagian pelakunya.
Reporter: Desmonth Redemptus Flores So