Begini Asal Mula Nasi Goreng Masuk ke Indonesia

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sangat populer. Nasi goreng yang sangat akrab di lidah masyarakat Indonesia dan sering dijumpai ini, ternyata bukan berasal dari Indonesia. Tidak disangka nasi goreng yang dianggap makanan khas Indonesia, ternyata berasal dari Tionghoa.

Nasi goreng ternyata sudah ada sejak 4000 sebelum masehi ini, merupakan makanan penduduk Tionghoa. Tidak hanya populer di Indonesia hidangan tersebut juga populer di berbagai negara seperti Malaysia, Singupara, Thailand, Cina dan Turki.

Masuknya Nasi goreng dan mejadi populer di Indonesia tidak lepas dari perdagangan di Nusantara yang dilakukan masyarakat Indonesia dengan Cina. Selama adanya perdagangan mendorong masuknya Imigran Tionghoa masuk ke Indonesia serta mengenalkan santapan yang biasa dimasak oleh negaranya.

Awal mula, nasi goreng masuk ke Indonesia pada abad ke- 10, dikenalkan oleh warga Tionghoa yang bersinggah di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Pada pertemuan tersebut, mulailah nasi goreng diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa kepada warga setempat.

Karena mudah memasaknya, serta menggunakan bumbu yang sederhana, membuat nasi goreng akhirnya populer. Apalagi warga di sekitar Sriwijaya mengonsumsi Nasi sebagai makanan utama.

Cerita soal nasi goreng yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa itu pernah dibantah Hillary Keatinge dan Anneke Peters dalam buku The Flavour of Holland (1995). Dua penulis kuliner ini yakin bahwa nasi goreng memang berasal dari Indonesia. Nasi goreng, tulis Keatinge dan Peters, adalah makanan asli Indonesia yang merupakan olahan nasi sisa yang dimasak kembali untuk dihidangkan bersama irisan omelette (telur dadar) dan menjadi menu yang biasanya dinikmati di pagi hari.

Mereka menyebut nasi goreng adalah makanan yang unik. Disebut unik karena kuliner ini cocok disantap kapan saja, baik pagi, siang, maupun malam hari, bahkan lewat tengah malam, dalam keadaan hangat atau dingin. Selain itu, nasi goreng juga sangat mudah dipadukan dengan berbagai jenis bahan makanan tambahan lainnya.

Cara memasaknya pun sangat mudah dan praktis. Nasi goreng gampang ditemukan di mana saja. Bisa menjadi hidangan mewah di restoran ternama atau hotel berbintang, juga kerap dijumpai di tenda kaki lima atau didorong penjualnya dengan gerobak usang. Boleh dibilang, nasi goreng adalah makanan sejuta umat untuk seluruh kalangan, dari rakyat biasa hingga pejabat negara.

Pakar kuliner William Wongso mengatakan ”Nasi goreng sudah umum dijumpai dalam set menu restoran di Eropa, terutama rumah makan yang menampung turis asia, hanya saja penamaannya tetap nasi goreng bukan “fried rice”. Hanya saja mengalami sedikit perubahan bahasa, dari nasi goreng menjadi nasi gorank.”

Reporter: Indah Nursaliha

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Menuju Kemandirian: Indonesia Kian Dekat Wujudkan Swasembada Pangan Nasional

Oleh: Sirajudin Ahmad *) Indonesia memasuki fase penting dalam perjalanan panjang menuju swasembadapangan nasional. Pendorong utamanya adalah kombinasi faktor yang selamabertahun-tahun menjadi tantangan terbesar sektor pertanian: peningkatanproduktivitas, stabilitas stok, efisiensi kebijakan, dan keberhasilan intervensipemerintah di titik-titik paling krusial dalam rantai produksi. Tahun 2025 menjadimomentum ketika kerja berlapis dari pemerintah pusat dan daerah mulaimenunjukkan arah yang semakin terukur. Untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, stok beras pemerintah mampu bertahan pada kisaran 3,8 juta ton, danseluruhnya berasal dari produksi petani dalam negeri. Kondisi ini memperlihatkanbahwa agenda besar pemerintah dalam memperkuat kedaulatan pangan telahbergerak dari sekadar visi menuju capaian nyata yang dirasakan publik. Optimisme pemerintah terlihat jelas dari pernyataan Menteri Pertanian Andi AmranSulaiman yang menilai bahwa Indonesia sudah sangat dekat untuk mengumumkanstatus swasembada pangan. Amran tidak menyampaikan hal itu dalam ruangspekulatif, melainkan berdasarkan data teknis yang menunjukkan lonjakan produksipadi nasional sepanjang 2025. Perhitungan Kerangka Sampel Area BPS memperkirakan potensi gabah kering giling mencapai lebih dari 60 juta ton, meningkat lebih dari 13 persen dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan tajam initerjadi terutama pada musim tanam awal tahun ketika sentra-sentra utama di Jawa, Sumatra, dan beberapa daerah lain melaporkan produktivitas jauh di atas rata-rata. Informasi teknis tersebut menjadi landasan kuat bagi pemerintah untukmenyimpulkan bahwa Indonesia tengah bergerak dari ketergantungan jangkapanjang pada impor beras menuju fase kemandirian produksi. Di sisi tata kelola stok, Direktur Utama Perum Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menilai cadangan pemerintah yang mendekati empat juta ton merupakan fondasi paling penting bagi deklarasi swasembada yang ditargetkan akhir 2025. Ia melihat bahwakapasitas ini memberi jaminan stabilitas pasokan bagi publik, sekaligus menegaskanbahwa kebijakan Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan impor beras dapatdilaksanakan tanpa menimbulkan risiko kekurangan. Dengan cadangan sekuat itu, pemerintah memiliki ruang cukup untuk menjaga stabilitas harga melalui operasipasar, menahan gejolak akibat perubahan musim, dan memperkuat distribusi kewilayah yang selama ini paling rentan terhadap fluktuasi pasokan. Stok yang mampubertahan meski program bantuan pangan terus berjalan menandakan efektivitasintervensi pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara produksi, konsumsi, danstabilitas pasar. Produksi beras nasional juga menunjukkan tren yang sejalan dengan target swasembada. Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, memproyeksikan produksi beras 2025 mencapai hampir 35 juta ton, meningkat lebihdari 13 persen dari tahun lalu. Data ini memperjelas bahwa kenaikan stok bukansekadar hasil penyerapan yang agresif, tetapi benar-benar mencerminkanpeningkatan di hulu. Faktor-faktor penentu seperti perbaikan irigasi, distribusi pupukyang lebih tepat sasaran, penambahan alat dan mesin pertanian, serta percepatanpembukaan lahan baru terbukti memberi dampak langsung terhadap produktivitaspetani. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa instrumen kebijakan pemerintahbekerja secara simultan: memperkuat sisi produksi, meminimalkan potensikebocoran, dan memastikan ongkos produksi lebih efisien bagi petani. Meskipun capaian ini memberikan harapan besar, sejumlah pengamat mengingatkanbahwa swasembada pangan tidak hanya ditentukan oleh tingginya angka produksi. Stabilitas harga, kelancaran distribusi, dan ketahanan pangan di wilayah 3T tetapmenjadi faktor penting yang menentukan apakah status swasembada benar-benardirasakan masyarakat. Selain itu, ketergantungan pada impor beberapa bahan bakupertanian serta potensi gangguan iklim ekstrem tetap menjadi tantangan strukturalyang perlu dikelola serius. Namun, pemerintah tampak memahami bahwapencapaian swasembada bukanlah garis akhir, melainkan titik awal untukmemperkuat kemampuan bertahan dalam jangka panjang. Karena itu, penguatanlogistik pangan, modernisasi irigasi, dan pembentukan cadangan pangan daerahmenjadi agenda lanjutan yang terus ditekankan dalam berbagai rapat koordinasi. Pemerintah juga menunjukkan pemahaman bahwa produksi yang tinggi tidak akanmemberikan dampak optimal tanpa tata niaga yang sehat. Upaya digitalisasipertanian, penerapan subsidi pupuk yang lebih transparan, serta penggunaanperangkat prediksi cuaca dan pola tanam menjadi strategi untuk memastikan bahwaproduktivitas petani dapat dipertahankan secara konsisten. Selain itu, kolaborasiantara pemerintah pusat dan daerah semakin kuat, terutama dalam memetakansentra-sentra produksi yang dapat menjadi tumpuan tambahan ketika terjadipenurunan produksi di wilayah tertentu. Daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Aceh, dan Sumatera Selatan menjadi contoh bagaimanapenguatan infrastruktur pertanian dapat mengubah struktur produksi nasional secarasignifikan. Jika tren seperti ini berlanjut, Indonesia bukan hanya akan mengurangiketergantungan pada impor, tetapi juga memiliki kemampuan menjadi pemain yang lebih kuat dalam menjaga stabilitas harga pangan nasional. Lebih jauh, keberhasilanini memberi kepercayaan diri bahwa transformasi sistem pangan menujukemandirian bukanlah sesuatu yang utopis. Pemerintah menunjukkan bahwa dengankebijakan yang terarah, intervensi tepat sasaran, dan pemanfaatan teknologi yang progresif, Indonesia mampu mengubah struktur ketergantungan historis menjadipondasi kedaulatan pangan yang lebih kokoh. *) Pengamat Pertanian/Pegiat Tani Desa Maju
- Advertisement -

Baca berita yang ini