MATA INDONESIA, JAKARTA – Setiap memasuki musim hujan, Jakarta seringkali kebanjiran, baik hanya dengan genangan air banjir yang sangat dangkal maupun relatif dalam. Jakarta memang sulit melepaskan diri dari genangan air saat hujan lebat sejak di era pemerintah kolonial Belanda.
Pada tahun 1.600, Jakarta sudah pernah dilanda banjir besar. Saat itu, Jakarta yang masih bernama Batavia dipimpin Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.
Untuk menanggulanginya, sang Gubernur Jenderal membangun sejumlah kanal dan sodetan di Kali Ciliwung. Namun cara itu memberi hasil yang tidak memuaskan karena Batavia masih saja kebanjiran.
Upaya menanggulangi banjir dilakukan lagi pada 1918 setelah Batavia kembali diterjang banjir besar.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johan Paul van Limburg Stirum akhirnya merancang pembangunan Kanal Banjir Barat dua tahun kemudian.
Pembangunan kanal tersebut dimulai dari Pintu Air Manggarai sekarang sampai Muara Angke. Saat itu banjir dengan ketinggian 1,5 meter hanya terjadi di beberapa titik.
Pada tahun itu juga pemerintah membentuk Department van Burgerlijke Penbare Werken (BOW) atau serupa dengan Kementerian Pekerjaan Umum, yang kemudian diserahkan ke badan yang mengurusi perhubungan dan perairan di tingkat kotapraja pada 1933.
Untuk menanggulangi banjir saat itu Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan dana hingga 24 ribu gulden untuk melakukan pembangunan instalasi pencegah banjir di Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng.
Upaya pengendalian banjir besar-besaran di era Pemerintahan Hindia Belanda memang terjadi pada periode 1913 – 1930. Pada 1927 pemerintah setempat bahkan mengeluarkan dana hingga 288.292 gulden.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, masalah banjir di Jakarta pun belum menemukan solusi. Banjir besar terjadi lagi pada 1965 sehingga pemerintah saat itu membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir yang di kemudian hari berganti nama menjadi Proyek Pengendalian Banjir.
Saat Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta, ia menggandeng perusahaan asing Netherlands Engineering Consultants dari Belanda untuk pembuatan saluran baru di Jakarta seperti di Cengkareng dan di Cakung.
Ali Sadikin pun memperpanjang saluran kolektor selain itu melakukan normalisasi sungai hingga melakukan sodetan kali, tetapi banjir besar masih saja terjadi pada 1976.
Ketika kursi gubernur diduduki Sutiyoso 1997-2007, banjir tetap menghantui Jakarta.Pada 2002 dan 2007 bahkan terjadi lagi banjir besar hingga memakan korban jiwa.
Pada 2007 tercatat sekitar 80 orang meninggal dunia akibat banjir. Banjir besar itu juga menyebabkan kerugian material yang mencapai triliunan rupiah dan membuat 320.000 orang mengungsi.
Saat itu tanggul Kanal Banjir Barat aliran Kali Sunter jebol karena intensitas curah hutan yang sangat deras, akibatnya banjir besar terjadi hingga mencapai ketinggian 2 meter di kawasan Jatibaru, Tanah Abang dan Petamburan.
Pada 2015, banjir besar kembali merendam Jakarta setelah diguyur hujan ekstrem 170 mm per hari.
Bahkan pada malam pergantian tahun 2020 Jakarta kembali terrendam air banjir akibat hujan yang mengguyur sejak 31 Desember 2019 sore hingga 1 Januari 2020 pukul 11.00 WIB siang.
Curah hujan saat itu mencapai 377 mm per hari dan tercatat sebagai curah hujan tertinggi sejak 1996 menurut Badan Meteorologi Klimatolog dan Geofisika (BMKG).
Banjir memang menjadi masalah Jakarta sepanjang masa siapa pun gubernurnya. (Indah Suci Raudlah)
Ini baru info yang realistis, tidak menyalahkan Gubernurnya