Balai Pustaka, Cara Propaganda Kolonial Belanda

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Salah satu cara propaganda adalah dengan menerbitkan buku. Dan ini dilakukan Pemerintahan Kolonial Belanda untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia saat itu di tahun 1900 an. Dibentuklah lembaga penerbit. Namanya Balai Pustaka.

Apalagi, para pimpinan Pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia semakin merah kupingnya karena banyak tulisan-tulisan kritikan yang tersebar di masyarakat. Akhirnya pemerintah kolonial punya cara cerdik untuk meredam hal itu dengan menerbitkan tulisan-tulisan yang membuat rakyat lupa kalau mereka tengah diajajah. Bacaan itu mereka terbitkan lewat Balai Pustaka.

Pemerintah Kolonial kemudian mendirikan Balai Pustaka pada 14 September 112 tahun lalu atau pada 1908. Mulanya, lembaga itu bernama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat.

Lembaga ini menjadi penerbit buku, majalah, dan koran. Semua jenis tulisan punya kesempatan untuk terbit di Balai Pustaka kecuali satu: tulisan yang mengandung unsur perjuangan. Dengan kata lain, Belanda ingin agar rakyat pribumi lupa bahwa mereka tengah dijajah.

Keinginan Belanda agar rakyat lupa bahwa ada penjajahan bukannya tidak mendasar. Saat itu koran bumiputra sudah beredar luas di masyarakat. Kritikan kepada Pemerintah Kolonial muncul melalui tulisan-tulisan yang ada pada koran.

Masyarakat saat itu sudah mulai berani menunjukkan ketidakpuasannya terhadap Pemerintahan Kolonial. Keberanian rakyat yang mengeluarkan keresahan lewat tulisan, membuat Pemerintah Hindia Belanda lebih resah.

Nama Balai Pustaka mengalami perubahan pada masanya. Setelah Commissie voor de Volkslectuur, barulah muncul nama Balai Pustaka pada 1917. Ketika Jepang mulai menginvasi Indonesia, namanya berubah menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku. Lembaga ini sempat berpindah ke tangan Belanda pada Juli 1947. Namun pada 1949 pemerintah Indonesia mengambilalih dan kembali mengganti namanya menjadi Balai Pustaka hingga sekarang.

Dalam Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern, ada tiga lini produk Balai Pustaka. Pertama, buku untuk anak-anak. Kedua, buku hiburan dan referensi dalam bahasa daerah. Ketiga, buku hiburan dan referensi dalam bahasa Melayu. Tentunya buku yang bermuatan politik dan dunia internasional tidak termasuk kategori bacaan baik.

Karya Sastra

Sebelum merdeka, Balai Pustaka membangun sekitar 2.800 Taman Bacaan Rakyat. Selain itu, lembaga ini tidak pernah absen menerbitkan karya Sastra Indonesia. Bahkan sempat mendominasi penerbitan buku-buku sastra pada 1950-an.

Selain itu juga berhasil mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, bahkan menjadi  contoh karena berhasil memegang kendali dalam barisan penerbit. Banyak tulisan yang terbit antara lain tulisan dari sastrawan terkenal seperti R. Sutomo, R.M.A. Wurjadiningrat, P. Surjodiningrat, Hamka, Prof. Dr. Asikin, dan sebagainya.

Selain itu ada beberapa syarat lain bagi pemuatan karya tulis yakni tidak boleh cabul dan mengandung unsur cerita kejahatan. Semua karya menggunakan dunia imajiner. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda ingin menjaga namanya agar tetap harum, di sisi lain juga menjaga moral masyarakat.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan menyerahkan Balai Pustaka, akhirnya lembaga ini berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selain sastra, ada tugas baru dari pemerintah yaitu menerbitkan buku pelajaran. Sayangnya seiring waktu, bermunculan lah penerbit-penerbit swasta sehingga lama kelamaan nama Balai Pustaka redup.

Lembaga ini sekarang mencoba bangkit lagi. Bahkan turut mengikuti perkembangan zaman. Hal tersebut dengan munculnya Balai Pustaka eBookstore pada 2013.

Reporter : Nabila Kuntum Khaira Umma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Bersinergi Menjaga Netralitas Pemilu Demi Pilkada yang Berkualitas

Jakarta - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas Pilkada Serentak 2024. Badan Pengawas Pemilu...
- Advertisement -

Baca berita yang ini