Home Kisah Balada Cinta Chairil Anwar dan Mirat, Kisah Kasih Tak Sampai

Balada Cinta Chairil Anwar dan Mirat, Kisah Kasih Tak Sampai

0
778
Balada Cinta Chairil Anwar dan Mirat, Kisah Kasih Tak Sampai

MATA INDONESIA, JAKARTA – Hari Puisi Nasional diperingati setiap tanggal 28 April. Penentuan tanggal ini sangat erat kaitannya dengan kepergian Chairil Anwar, penyair terkemuka Indonesia.

Chairil yang juga dikenal sebagai pionir para penyair angkatan 45, ternyata semasa hidupnya digandrungi banyak wanita. Namun, cuma satu nama yang membekas dalam hatinya. Dialah Sumirat atau Mirat, demikian Chairil memanggilnya.

Nama Mirat ditemukan dalam beberapa sajak yang dibuat Chairil. Dalam ‘Sajak Putih’ (18 Februari 1944), Chairil mempersembahkan puisinya itu ‘buat tunanganku Mirat.’ Puisi ‘Dengan Mirat’ (8 Januari 1946) diubah judulnya menjadi “Orang Berdua” dalam kumpulan sajak Deru Campur Debu.

Menurut Seno Gumira Ajidarma, awal mula perjumpaan mereka saat Mirat dan keluarganya berpiknik ke pantai Cilincing, Jakarta Utara. Di sana, ia melihat Chairil. Pemuda itu tengah duduk bersandar di sebatang pohon sambil membaca buku tebal.

“Mula-mula tiada menjadi perhatianku, tapi beberapa kali melewatinya, melihat dia tekun membaca tanpa peduli sekelilingnya, benar-benar membuatku heran. Aneh, pikirku, orang-orang bersenang-senang di sini, tapi dia lebih tenggelam dalam bukunya,” ujar Mirat kepada Purnawan Tjondronagoro.

Sikap Chairil yang tak peduli ternyata memikat hatinya. Dalam perjalanan pulang, ia memikirkan Chairil. Terutama membayangkan apa yang tengah bermain dalam angan pemuda itu. Saat ia melukis, wajah Chairil kembali muncul di benaknya. kala itu, Mirat belajar melukis pada S. Sudjojono dan Affandi.

Sekali waktu, tak lama setelah ia melihat Chairil di pantai, saudaranya datang memberi kabar bahwa pemuda yang menjerat hati Sumirat terkena masalah: dituduh mencuri! Karena ingat akan Sumirat, akhirnya Chairil ditebus oleh saudaranya itu.

Sementara Sutan Takdir Alisjahbana dalam Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (1977) menulis bahwa ia tahu kasus tersebut dari ibunya Chairil.

“Chairil Anwar mencuri sebuah seperai yang terjemur di halaman rumah orang dan ketahuan oleh yang empunya, sehingga ia diadukan kepada polisi dan ditahan. Ibunya kehilangan akal dan minta bantuan kami,” tulisnya.

Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawannya kemudian patungan uang seharga seprai yang dicuri Chairil. Salah seorang dari mereka juga mendekati pegawai pengadilan dan mengatakan bahwa pesakitan itu adalah seorang penyair muda yang sangat berbakat dan penting kedudukannya dalam masyarakat. Usaha mereka berhasil, Chairil bebas.

Rupanya orang pegawai pengadilan itu adalah saudaranya Mirat. Rupanya momen itu menjadi awal bertautnya hati mereka. Chairil pun jatuh hati pada Mirat. Gayung bersambut.

“Dan dibawanya tumpukan kertasnya yang berisi hasil karya sastranya. Kami berdiskusi, sulit untuk mengalahkan atau membelokkan kemauannya. Dia seorang yang terlampau yakin kepada dirinya sendiri, tegas dan berani. Kukagumi dirinya sepenuh hatiku,” ujar Mirat.

Ketika Sumirat pulang kampung ke Paron, suatu desa di Madiun, Jawa Timur, Chairil menyusul dan sempat tinggal beberapa hari. Ayah Sumirat, RM Djojosepoetro, memberikan restunya dengan syarat Chairil memiliki pekerjaan tetap. Chairil kembali ke Jakarta untuk tidak kembali lagi. Mereka berpisah.

“Chairil pamit dengan uang saku ayah Mirat, karena memang tidak punya uang sepeser pun,” tulis Seno Gumira Ajidarma.

Dia meninggalkan kopor berisi buku-buku dan berkas tulisan, namun hancur bersama rumah Sumirat ketika Belanda menyerang Madiun. Sumirat kemudian mendengar bahwa Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja dan punya anak hingga jadi penyair besar. Sementara, Mirat dipersunting seorang dokter tentara.

Sebaliknya, Chairul tak pernah lupa soal kenangannya dengan Mirat. Di tahun yang sama dengan kematiannya, Chairil masih mengingat Mirat, mengenang saat-saat mereka masih belia. Maka ia pun menulis “Mirat Muda, Chairil Muda”.

“Ketawa/diadukannya giginya pada mulut Chiaril;/dan bertanya:/Adakah, adakah kau selalu mesra/dan aku bagimu indah?”

Penyair fenomenal itu dilahirkan 26 Juli 1922 di Medan dan meninggal 28 April 1949 di Jakarta karena sakit parah. Hari meninggalnya pun selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar, sekaligus menjadi hari puisi nasional.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here