Aisyah, Istri Nabi yang Menentang Menantunya

Baca Juga

MATA INDONESIA – JAKARTA, Aisyah binti Abu Bakar adalah salah satu istri Nabi Muhammad dan putri Abu Bakar. Wanita yang dijuluki sebagai ummu al-mu’minin (ibu orang-orang mukmin) ini pernah menentang Khalifah Ali bin Abu Thalib yang menyebabkan terpecahnya kaum Mukmin menjadi Syiah dan Sunni.

Aisyah dilahirkan empat atau lima tahun setelah Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasulullah. Saat itu, Abu Bakar merasa putrinya sudah cukup umur untuk dinikahkan, ia memilih Jubayr bin Mut’im. Tapi pernikahan tersebut batal.

Ayah Jubair, Mut‘im bin ‘Adi, menolak Aisyah lantaran Abu Bakar telah memeluk Islam. Istri Mut’im bin Adi mengatakan tidak mau keluarganya mempunyai hubungan dengan kaum Muslim yang dapat menyebabkan Jubair berpindah ke agama baru itu.

Menurut Profesor Kecia Ali dalam The Lives of Muhammad (2014) dengan mengutip pendapat ulama Tabari (juga menurut Hisham ibn ‘Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang Rasulullah SAW pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada umur 9 tahun. Aisyah menjadi istri ketiga Nabi Muhammad setelah Khadijah dan Saudah binti Zam’ah.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai usia berapa sebenarnya Nabi Muhammad menikahi Aisyah. Sebagian besar referensi menyatakan bahwa upacara perkawinan tersebut terjadi ketika Aisyah berusia 6, dan ia diantarkan memasuki rumah tangga Nabi Muhammad sejak umur 9. Adapula pendapat pakar yang menyebut setidaknya Aisyah berumur 19 saat menikah dengan Nabi.

Perang Jamal

Setelah Rasulullah meninggal, terjadi perpecahan antara para sahabat dan keluarganya. Mereka kemudian terpilah menjadi tiga kelompok. Dua kelompok aktif, dan satunya pasif.

Kelompok yang pertama, yakni dari Suku Quraisy. Suku Quraisy mengklaim yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah SAW adalah dari sukunya. Hal ini karena Islam pertama kali muncul dari suku Quraisy. Alasan ini cukup masuk akal pada saat itu.

Kelompok yang kedua adalah dari Sahabat Anshor. Mereka mengklaim berhak menjadi khalifah karena Islam bisa berkembang pesat pada saat berada di Madinah, bukan di Mekah.

Sementara kelompok ketiga, yakni Ahlul Bait atau keluarga dari Rasulullah sendiri. Mereka menganggap yang berhak menjadi pengganti seharusnya dari keluarga Rasulullah sendiri.

Puncak perpecahan ketiga kelompok ini terjadi di masa khalifah Ali bin Abu Thalib yang merupakan menantu Nabi Muhammad SAW. Perpecahan terjadi antar sahabat ini cukup memilukan. Di antaranya perang Jamal, yakni perselisihan antara Ali dengan Aisyah, istri Rasulullah.

Kala itu, sebagian sahabat Nabi memberikan dukungan tanpa syarat kepada Ali dan karenanya mereka cenderung menentang Aisyah. Dan ini akhirnya menjadi pembenaran bagi kaum Syiah yang merupakan pendukung Ahlub Bait.  Aisyah adalah antimodel. Ia dicitrakan sebagai perempuan yang menyeramkan. Kaum perempuan, bagi kaum Syiah, harus berpuas diri seperti Fatimah, dengan menjadi ibu yang baik, anak perempuan yang baik, dan istri yang baik.

Namun Aisyah dengan gagah berani melakukan pembangkangan terhadap menantunya sendiri. Saat itu Aisyah hanya meminta Ali bin Abu Thalib untuk mengadili siapa pembunuh Khalifah Utsman bin Affan. Ali menolak dan malah melakukan rekonsiliasi supaya terjadi perdamaian di antara umat Islam.

Aisyah akhirnya memimpin pasukan ke medan perang dan menentang Ali bin Abu Thalib pada 4 Desember 656 Masehi (36 Hijriah). Namun, dalam peperangan ini Aisyah kalah.

Aisyah kemudian diperlakukan dengan hormat oleh Ali bin Abu Thalib dalam sebuah tahanan rumah dan melarang untuk berpolitik. Di akhir usianya, Aisyah akhirnya disibukan dengan mengumpulkan hadis Nabi Muhammad SAW.

Reporter: Muhammad Raja A.P.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Peran Sentral Santri Perangi Judol di Era Pemerintahan Prabowo-Gibran

Jakarta - Kalangan santri dianggap menjadi salah satu elemen bangsa yang mampu terlibat aktif dalam pemberantasan Judi Online yang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini