MATA INDONESIA, JAKARTA – Ada adagium yang berbunyi, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina“. Yang berarti, cari dan tuntutlah ilmu sejauh apa pun ilmu itu berada. Namun pepatah ini nampaknya tak berlaku bagi Kho Ping Hoo. Meski terkenal sebagai salah satu maestro cerita silat (cersil) Tionghoa pada masanya, ternyata penulis kelahiran 17 Agustus 1926 ini tak pernah menjejakkan kaki di negeri berjuluk tirai bambu tersebut.
Sebenarnya ia pernah berniat hijrah ke Cina saat pemerintah menerapkan peraturan No 10 tahun 1959 (PP 10 Tahun 1959). Regulasi tersebut melarang warga negara asing berdagang di wilayah pedesaan Indonesia. Sebagai gambaran, saat itu banyak WNA terutama Tionghoa yang bermukim di pedesaan dengan menyambung hidup sebagai pedagang.
Karena pertimbangan anak-anaknya masih bersekolah dan tidak mudah pergi dari Indonesia pasca peristiwa 1965, Kho Ping Hoo memohon menjadi warga negara Indonesia. Namun, status WNI baru dia peroleh sekitar Tahun 1970-an.
Pun ratusan judul cerita ia produksi selama 30 tahun adalah murni imajinasi Kho Ping Hoo semata. Selain itu, penulis kelahiran Sragen, 17 Agustus 1926 ini juga tak bisa membaca dan menulis dalam bahasa Mandarin.
Lantas Karena tidak bisa berbahasa Mandarin, Kho Ping Hoo tak bisa mengakses sumber-sumber sejarah negeri Cina berbahasa Tionghoa. Ini membuat banyak fakta historis dan geografis Cina dalam ceritanya tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Rupanya inspirasi untuk menulis cersil tersebut didapatkan Kho Ping Hoo dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Maka sudah pasti, karya Kho Ping Hoo akan membingungkan bagi melek sastra atau sejarah Tiongkok yang sebenarnya. Meski demikian, karya-karya tetap mendapat tempat di hati para pencinta komik silat hingga kini.
Dalam Kho Ping Hoo & Indonesia (2012) yang disunting oleh Ardus M. Sawerga, Kho Ping Hoo mengungkapkan alasan di balik penulisan cersilnya yang laris manis di masanya. Ternyata itu adalah bentuk curahan hati untuk melepaskan persoalan penindasan yang ada di dalam batinnya.
Maklum hampir sepanjang hidupnya ia mengalami berbagai peristiwa diskriminatif dan keras. Mulai dari zaman Jepang, revolusi, sampai kerusuhan rasial yang meletus pada 1963 di Tasikmalaya hingga membuatnya harus pindah ke Solo.
Maka lewat para pendekar dalam cersil-cersil-nya, Kho Ping Ho curhat kepada pembaca soal suka duka kehidupannya dalam menghadapi, mempelajari, menyelidiki, dan menanggulangi persoalan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
Kini sosok fenomenal itu telah tiada, namun para pendekarnya tetap mengembara di dunia persilatan, tepatnya dalam cersil karyanya. Kho Ping Hoo wafat pada 22 Juli 1994 di Tawangmangu.
Selamat jalan Pak, bahagia di Surga!