MATA INDONESIA, JAKARTA – Tragedi Kanjuruhan, Sabtu 1 Oktober 2022, menunjukkan rivalitas Surabaya-Malang yang tidak pernah padam.
Rivalitas tersebut juga bukan semata-mata karena persaingan di sepakbola, melainkan tumbuh sejak era Kolonial Hindia Belanda.
Masyarakat Malang yang berada di pegunungan merasa setara dengan Arek Suroboyo yang sejak era kolonial hingga Indonesia merdeka selalu diberi peran sebagai Ibu Kota Jawa Timur.
Alasannya, karena Malang juga memiliki fasilitas umum yang tidak kalah dari Surabaya berkat masifnya pembangunan sejak era Hindia Belanda hingga Orde Baru.
Meski Malang menjadi kota nomor dua, Kera Ngalam (Arek Malang) tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Surabaya adalah kota utama di Jawa Timur.
Tonggak perseteruan Arema (Arek Malang) dengan Bondho Nekat (Bonek) dimulai pada peristiwa di Konser Kantata Takwa, Tambaksari, Surabaya, 23 Januari 1990.
Sekitar 30 menit pertama konser dimulai, warga Malang yang menguasai depan panggung meneriakkan, “Arema…Arema…Arema… .”
Arek Suroboyo yang ada saat itu menjadi tuan rumah merasa terpinggirkan, sehingga mereka meninggalkan tempat dan kembali lagi membawa rombongan lebih banyak lagi.
Mereka berusaha “mengeluarkan” Arema dari arena konser sehingga tawuran pun tidak terelakkan yang bukan hanya terjadi di sekitar Stadion tetapi terus berlanjut hingga Stasiun Gubeng.
Tawuran serupa terjadi lagi pada 1992 di ajang konser band heavy metal Sepultura yang juga diadakan di Tambaksari.
Walikota Malang saat itu bahkan mengeluarkan pernyataan “haram” bagi Bonek (Arek Suroboyo) datang ke Kota Malang.
Sementara, cikal-bakal perkumpulan fans sepakbola di Malang sebenarnya sudah diawali pada 1988 saat seorang bernama Lucky Acub Zaenal mendirikan Yayasan Arema Fans Club (AFC).
Namun, AFC terpaksa dibubarkan 1994 karena ternyata tidak bisa “merangkul” seluruh suporter sepakbola Kota Apel tersebut. Saat itu mereka lebih dikenal sebagai Ngalamania.
Menjelang bubarnya AFC, sejumlah suporter mulai membicarakan sebuah perkumpulan fans sepakbola dengan nama Aremania.
Mereka mendukung prinsip “sama rata, sama rasa, satu jiwa” sebagai bentuk rasa senasib sebagai pendukung klub sepakbola Malang bagi seluruh strata sosial.
Jenuh dengan sikap anarkis yang sering ditunjukkan para anggotanya, Aremania kemudian mengubah citra sebagai komunitas suporter sepakbola yang penuh kedamaian.
Mereka selalu menemani klub kebanggaannya yang saat itu sudah diwakil Arema kemana saja tanpa menimbulkan kerusuhan.
Bulan Mei 1996 Aremania bahkan berani melakukan lawatan ke stadion Persebaya di Surabaya untuk menularkan virus perdamaian kepada Bonek.
Namun, rivalitas keduanya tetap tidak bisa dihilangkan sehingga di beberapa kesempatan masih terlibat tawuran.
Hingga akirnya pada 1999 Aremania dan Bonek menandatangani nota kesepahaman di Markas Polda Jawa Timur.
Hasilnya, sejak penandatanganan itu kedua elemen suporter tersebut tidak pernah saling tandang dalam pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing.
Tetapi nota kesepakatan itu tidak mampu membendung virus konflik keduanya, sehingga tawuran keduanya terjadi lagi pada Mei 2001 di Stadion Delta Sidoarjo.
Menjelang akhir pertandingan para Bonek melempari stadion yang menjadi pertandingan Arema melawan Gelora Putra Delta Sidoarjo.
Kerusuhan yang melibatkan Aremania dengan Bonek masih berlanjut pada tahun 2006 saat Persebaya Surabaya menang atas Arema Malang di stadion Kanjuruhan dalam laga first leg Copa Indonesia.
Hingga kini, rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya.
Sikap tak mau kalah itu, di luar ditemukannya kejanggalan, tampaknya tak bisa diabaikan pada peristiwa berdarah di Kanjuruhan, Sabtu kemarin.