MINEWS, JAKARTA – Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dikabarkan sudah mendapatkan undangan untuk melawat ke Amerika Serikat (AS), meski dulu pernah dicekal. Nah, sebenarnya apa saja yang menyebabkan mantan Danjen Kopassus ini tak diijinkan masuk ke negeri Paman Sam pasca Reformasi?
Bila kita memutar kembali memori di tahun 2000, niat Prabowo untuk menghadiri wisuda putra semata wayangnya, Didit Hadiprasetyo di salah satu universitas di Boston, AS tak terwujud. Ia dilarang masuk ke sana.
Kala itu, tak jelas alasan AS mengembargo Prabowo masuk ke negaranya. Akan tetapi, merujuk artikel yang ditulis New York Times pada Maret 2014, mengungkapkan bahwa pemerintah AS sempat khawatir dengan stabilitas Indonesia pasca jatuhnya Soeharto.
Selain itu, Amerika juga memasukkannya dalam daftar hitam karena menilai Prabowo punya latar belakang pelanggaran HAM.
Soal kasus-kasus HAM yang sempat dikaitkan dengan mantan Panglima Kostrad ini (Maret-Mei 1998), ada 34 dokumen rahasia Amerika Serikat mengungkap rentetan laporan soal tindakan Prabowo yang memerintahkan Kopassus untuk menghilangkan paksa sejumlah aktivis pada 1998 dan adanya perpecahan di tubuh militer.
Dokumen-dokumen yang dirilis ke publik oleh lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) ini mengemukakan berbagai jenis laporan pada periode Agustus 1997 sampai Mei 1999.
Salah satu dokumen merupakan telegram berisi percakapan antara Asisten Menteri Luar Negeri AS, Stanley Roth dengan Prabowo yang kala itu masih menjabat Komandan Kopassus dengan pangkat Mayor Jenderal. Dokumen ini pun terindikasi sebagai bagian pengakuan Prabowo yang berusaha melengserkan Soeharto.
Dalam pertemuan selama satu jam pada 6 November 1997 itu, ia mengatakan mertuanya, Presiden Soeharto, tidak pernah mendapat pelatihan di luar negeri dan pendidikan formalnya pun sedikit. Kata dia, Soeharto tidak selalu bisa memahami persoalan dan tekanan dunia, meski punya daya ingat yang kuat.
“Akan lebih baik jika Soeharto mundur pada Maret 1998 dan negara ini bisa melalui proses transisi kekuasaan secara damai”, sebut Prabowo dalam dokumen itu.
Selain itu, ada sebuah arsip tertanggal 7 Mei 1998. Di dalamnya mengungkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta soal nasib para aktivis yang menghilang dan boleh jadi ditahan di fasilitas Kopassus di jalan lama yang menghubungkan Jakarta dan Bogor.
Hasil percakapan seorang staf politik Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan seorang pemimpin organisasi mahasiswa memunculkan nama Prabowo Subianto.
Narasumber tersebut mengaku mendapat informasi dari Kopassus bahwa penghilangan paksa dilakukan Grup 4 Kopassus. Informasi itu juga menyebutkan bahwa terjadi konflik di antara divisi Kopassus bahwa Grup 4 masih dikendalikan Prabowo.
“Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto,” sebut dokumen tersebut.
Akibatnya ABRI yang kala itu masih di bawah kepemimpinan Wiranto, membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk menangani kasus tersebut yang dikaitkan dengan anggota Kopassus dan Prabowo.
DKP dibentuk pada Juli 1998 dan menggelar sidang pada bulan Agustus. Setelah memeriksa Prabowo, DKP yang diketuai Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo ini menjatuhkan sanksi administratif berupa pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran.
Setelah meninggalkan dinas ketentaraan, Prabowo sempat menetap di Yordania sebelum pulang ke Indonesia untuk menjadi pengusaha dan kemudian mendirikan Partai Gerindra.
Ia sempat mencalonkan diri diri bersama Megawati pada Pilpres tahun 2009, namun gagal. Kemudian secara berurutan mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu tapi lagi-lagi gagal.