Dua Pekan Penuh Ketakutan, Rasisme dan Air Mata di Amerika

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA - Amerika Serikat adalah negara penuh ketakutan dan rasisme. Ya, setidaknya itulah gambaran Negeri Paman Sam belakangan ini. Bayangkan, hanya dalam kurun dua pekan, terjadi tiga penembakan brutal yang menewaskan puluhan orang.

Pertama, penembakan terjadi di tengah festival bawang putih di Gilroy, California pada 29 Juli 2019 lalu. Kedua, penembakan di El Paso Texas pada Sabtu 3 Agustus 2019 lalu, dan ketiga adalah penembakan di pusat hiburan Dayton, Ohio, tepat 13 jam setelah penembakan di El Paso.

Penembakan di California telah menewaskan empat orang, termasuk anak-anak. Pelakunya adalah remaja berusia 19 tahun bernama Santino William Legan. Ia tewas karena senjatanya sendiri saat baku tembak dengan aparat. Dari penelusuran FBI, diduga kuat Santino terpapar ideologi radikal yang keras, bahkan ia berencana menyerang lembaga federal AS.

Selanjutnya, penembakan dengan korban terbanyak, yakni di El Paso, Texas. Lebih 20 orang dinyatakan tewas, dan puluhan lainnya luka-luka. Salah satu pelaku bernama Patrick Crusius yang masih berusia 21 tahun diamankan.

Sebelum tragedi itu terjadi, Crusius melalui akunnya bernama 8chan menulis pesan berbau rasisme, yang menyebut bahwa Amerika Serikat telah diserbu ras Hispanik. Ia pun merasa bangga bisa memimpin perang merebut kembali kejayaan AS dari tangan imigran. Hasil pemeriksaan polisi, Crusius mengaku ia mengincar warga Meksiko yang berada di El Paso untuk dibantai. Mengerikan!

Belum kering air mata warga AS melihat aksi terorisme bertopeng rasialis tersebut, Minggu 4 Agustus 2019. 13 jam kemudian setelah penembakan El Paso, terjadi lagi perbuatan brutal yang sama di Oregon Historic District, pusat Kota Dayton, Ohio. Korban tewas tercatat 10 orang dan 19 lainnya terluka.

Ini disebut sebagai penembakan paling keji dari tiga peristiwa tersebut. Bayangkan, pelakunya bernama Connor Betts menembak teman-temannya, dan parahnya membunuh adik perempuannya sendiri di hadapan orang banyak saat itu.

Polisi mengungkap, Betts membunuh semua korban hanya dalam waktu satu menit, ia bahkan menyarangkan peluru tepat di kepala adik perempuannya. Dari penelusuran polisi, Betts membeli senjata jenis AS dari sebuah situs online, dan ia memiliki masalah mental yang keras serta kejam sejak masih remaja. Meskipun, tak diketahui secara pasti kenapa Betts melakukan perbuatan tak terampuni tersebut.

Mengenai rasisme, banyak pihak menduga para pelaku penembakan yang motifnya adalah supremasi kulit putih terinspirasi dari pernyataan-pernyataan Presiden AS Donald Trump.Ya, seluruh warga AS tahu, Trump dikenal ‘cukup’ rasis selama ini, terlihat dari kebijakan dan pidato-pidatonya yang kontroversial.

Merasa warganya paling terancam, Meksiko beberapa waktu lalu bahkan mendesak pemerintah AS segera menyetujui permintaan kerja sama untuk mendeteksi kelompok supremasi kulit putih yang kian meresahkan. Meksiko khawatir, warganya yang menjadi imigran di AS akan terus menjadi korban penembakan dan intimidasi dari kelompok-kelompok anti ras Hispanik dan imigran

Sungguh ironis sekali. Negara sebesar dan seberkembang AS, masih diliputi teror karena maraknya kampanye berbau rasis.

 

Berita Terbaru

Peran Sentral Santri Perangi Judol di Era Pemerintahan Prabowo-Gibran

Jakarta - Kalangan santri dianggap menjadi salah satu elemen bangsa yang mampu terlibat aktif dalam pemberantasan Judi Online yang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini