Pengaruh Kesehatan Duduk Bekerja di Kantor Lebih Kecil Dibanding Duduk Nonton TV

Baca Juga

MINEWS.ID, JAKARTA – Sering kita mendengar tuduhan bahwa duduk bekerja di kantor menimbulkan segudang masalah kesehatan. Namun sebuah penelitian di Journal of the American Heart Association membuktikan bekerja dengan cara itu masih lebih baik dibandingkan duduk seharian nonton acara televisi di rumah.

Penelitian di Columbia University itu dilakukan terhadap 3.500 orang selama delapan tahun.

Baru ketahuan bahwa orang yang setiap hari menonton TV selama empat jam atau lebih memiliki risiko serangan jantung dan kematian 50 persen lebih tinggi dibanding mereka yang nonton kurang dari dua jam setiap hari.

Peneliti Keith M. Diaz, profesor di Columbia University Vagelos College of Physicians and Surgeons menyatakan jika kita banyak duduk untuk bekerja masalah kesehatan yang timbul masih bisa dieliminir dengan berolah raga ringan sesudahnya.

Menurut hasil penelitian itu menurut Diaz mengungkapkan bahwa orang yang bekerja dengan duduk di kantor masih mau menyempatkan diri untuk berdiri dan sedikit berjalan-jalan di sekitar kantor.

Sementara orang yang menonton televisi cenderung betah duduk berjam-jam tanpa melakukan aktivitas tubuh, kecuali makan baik makan berat maupun cemilan snack.

Kombinasi makan dalam jumlah banyak, menurut Diaz, seperti saat makan malam dan duduk berjam-jam bisa menimbulkan masalah kesehatan serius.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini