Gurihnya Nasi Liwet, Makanan Tradisional Penolak Bencana

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Jika Anda berkunjung ke Solo, tak lengkap rasanya jika menikmati Nasi liwet.

Nasi ini merupakan kuliner khas Solo yang memiliki cita rasa yang gurih sehingga cocok disantap dengan berbagai macam lauk pauk. Biasanya lauk pauk yang disajikan bersama dengan nasi liwet adalah sayur labu siam, daging ayam, telur rebus opor, sambal, dan yang tak boleh ketinggalan adalah areh yang merupakan semacam bubur gurih yang terbuat dari kelapa.

Awalnya makanan ini dijual oleh pedagang keliling dengan menggunakan bakul bambu di Solo. Namun, sekarang nasi liwet sudah bisa dinikmati di restoran khas Jawa Tengah.

Liwet dalam bahasa Jawa berarti tanak atau menanak. Jadi nasi liwet ini cukup dimasak satu kali proses tanpa perlu dikukus. Menanak nasi atau ngeliwet biasanya menggunakan ketel tembaga agar nasi dapat matang sempurna, empuk, dan tetep hangat hingga saat disajikan.

Munculnya makanan ini berawal dari kebiasaan masyarakat Jawa yang melakukan ritual selametan, Kenduri, hingga Sekaten. Di acara-acara selametan khas Jawa ini selalu dihadirkan nasi samin.

Berhubung tak banyak masyarakat Jawa yang bisa memasak nasi samin ini, maka dibuatlah nasi liwet yang rasanya menyerupai nasi samin. Ada juga yang mengatakan kalau nasi liwet sudah dibuat sejak tahun 1823 saat pulau Jawa diguncang gempa bumi. Nasi ini  disajikan sebagai doa yang dilantunkan untuk keselamatan masyarakat Jawa.

Pada zaman dulu, setiap bulan Maulid masyarakat Jawa rutin menggelar upacara Selametan (kenduri).  Upacara ini ditujukan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW dengan harapan mendapatkan berkah.

Di lingkungan Keraton Solo, perayaan Maulid Nabi diramaikan dengan tradisi Sekaten atau Grebeg, yang juga berlaku di Kasultanan Yogyakarta.  Sekaten ditandai dengan dikeluarkannya gamelan pusaka keraton selama sepekan, yang kemudian diiringi dengan dua gunungan bernama Jaler dan Estri yang melambangkan pria dan wanita. Gunungan Jaler berisi hasil-hasil bumi seperti umbi-umbian, sayur, juga buah-buahan. Sementara gunungan Estri terdiri dari makanan-makanan yang sudah diolah, salah satunya nasi liwet.

Dalam Serat Centhini, Pakubuwana XI, Raja Kasunanan Surakarta periode 1939-1945, menyajikan nasi liwet kepada para penabuh gamelan di keraton sebelum mereka pulang. Alasannya, agar istri mereka tidak repot menyiapkan makanan di rumah. Nasi ini memang sudah menjadi sajian khas bagi keluarga istana di Solo, baik Kasunanan Surakarta maupun Kadipaten Mangkunegaran. Kuliner ini konon justru berasal dari kalangan rakyat biasa, yakni dari Desa Menuran, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Reporter: Purwati Soleha

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Kemandirian Pangan dan Energi di Papua Menjadi Pilar Strategis Pembangunan Nasional

Oleh: Markus Yikwa *) Agenda kemandirian pangan dan energi kembali menempati posisi sentral dalam arah kebijakanpembangunan nasional. Pemerintah secara konsisten menegaskan bahwa ketahanan negara tidakhanya diukur dari stabilitas politik dan keamanan, tetapi juga dari kemampuan memenuhikebutuhan dasar rakyat secara mandiri dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, Papua ditempatkansebagai salah satu wilayah kunci, baik untuk mewujudkan swasembada pangan maupunmemperkuat fondasi kemandirian energi berbasis sumber daya domestik seperti kelapa sawit. Upaya percepatan swasembada pangan di Papua mencerminkan pendekatan pemerintah yang lebih struktural dan berjangka panjang. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam berbagaikesempatan menekankan bahwa defisit beras di Papua tidak dapat diselesaikan hanya dengandistribusi antarpulau, melainkan harus dijawab melalui peningkatan kapasitas produksi lokal. Dengan kebutuhan beras tahunan yang jauh melampaui produksi eksisting, pemerintah memilihstrategi pencetakan sawah baru secara masif sebagai solusi konkret. Pendekatan ini menunjukkankeberanian negara untuk menyelesaikan masalah dari hulunya, bukan sekadar menambalkekurangan melalui mekanisme pasar jangka pendek. Kebijakan pencetakan sawah baru di Papua, Papua Selatan, dan Papua Barat tidak berdiri sendiri. Pemerintah juga menyiapkan dukungan menyeluruh berupa penyediaan benih unggul, pupuk, pendampingan teknologi, hingga pembangunan infrastruktur irigasi dan akses produksi. Sinergiantara pemerintah pusat dan daerah menjadi prasyarat utama agar program ini tidak berhentisebagai proyek administratif, melainkan benar-benar mengubah struktur ekonomi lokal. Denganproduksi pangan yang tumbuh di wilayahnya sendiri, Papua tidak hanya mengurangiketergantungan pasokan dari luar, tetapi juga membangun basis ekonomi rakyat yang lebihtangguh. Lebih jauh, visi swasembada pangan yang disampaikan Mentan Andi Amran Sulaiman menempatkan kemandirian tiap pulau sebagai fondasi stabilitas nasional....
- Advertisement -

Baca berita yang ini