Home Cuitan MI Tiga Harta Karun Kekaisaran Jepang yang Misterius

Tiga Harta Karun Kekaisaran Jepang yang Misterius

0
341

MATA INDONESIA, TOKYO – Naruhito resmi naik takhta menjadi kaisar baru Jepang, setelah ayahnya Kaisar Akihito turun takhta.

Prosesi turun dan naik takhta melibatkan upacara Shinto yang sangat simbolis. Berpusat tiga benda – cermin, pedang dan permata. Ketiga benda ini adalah Harta Karun Kekaisaran.

Penyerahan tiga harta karun ini namanya Kenji-to-Shokei-no-gi. Berlangsung pagi pukul 10.15. Upacara ini hanya berlaku bagi para lelaki. Para bangsawan perempuan tidak diizinkan berada di sana sehingga Masako, istri Kaisar Naruhito, tidak hadir.

Naruhito, 61 tahun menerima dua benda – replika pedang dan permata – yang merupakan simbol kekuatan kekaisaran. Serta tambahannya yaitu cermin.

Kaisar Jepang Naruhito
Kaisar Jepang Naruhito

Asal-usul dan keberadaan benda-benda tersebut terselimuti kabut misteri. Terlalu banyak mitos tentang harta karun ini bertebaran di sepanjang sejarah dan budaya pop Jepang.

Harta Karun Kekaisaran adalah bagian dari prosesi peresmian kaisar ini. Ketiga benda ini diturunkan dari para dewa melalui generasi kaisar yang menjadi keturunan langsung mereka. Karena Jepang tidak mengenal mahkota kekaisaran, maka ketiga benda ini menjadi simbol kekuatan kekaisaran.

Profesor Hideya Kawanishi dari Universitas Nagoya mengatakan bahwa ia tak pernah melihat langsung ketiga benda ini. ”Bahkan Kaisar belum pernah melihat mereka,” ujarnya.

Karena ketiga benda dalam prosesi upacara tersebut hanyalah replika dan bukan benda aslinya. ”Ketiga benda ini aslinya menyebar di beberapa tempat di Jepang. Tak ada seorang pun yang tahu,” ujarnya.

Yata no Kagami – cermin keramat

Cermin, salah satu harta karun Kekaisaran Jepang
Cermin, salah satu harta karun Kekaisaran Jepang

Salah satu benda yang menjadi harta karun itu adalah cermin keramat atau Yata no Kagamo. Kabarnya usia cermin ini berusia 1.000 tahun. Benda ini berada di Kuil Agung Ise di Prefektur Mie. Menurut Profesor Shinsuke Takenaka, cermin tersebut dianggap sebagai harta kekaisaran paling berharga.

Yata no Kagami adalah satu-satunya harta yang tidak pernah lagi tampil dalam acara penobatan terakhir pada 1989.

Dalam cerita rakyat Jepang, cermin memiliki kekuatan ilahiah dan dapat mengungkap kebenaran. Dalam upacara-upacara kekaisaran, Yata no Kagami – atau cermin delapan sisi – mewakili kebijaksanaan kaisar.  Menurut Kojiki, catatan tertulis kuno legenda Jepang, Yata no Kagami dibuat oleh dewa Ishikoridome.

Setelah dewi matahari Amaterasu berkelahi dengan kakaknya Susanoo, dewa laut dan badai, ia mundur ke sebuah gua dan membawa cahaya matahari bersamanya.

Susanoo pun mengadakan pesta untuk memancingnya keluar.  Amaterasu terpesona oleh bayangannya sendiri di cermin. Mereka pun berhenti bertengkar, membawa cahaya kembali ke alam semesta.

Cermin keramat dan harta karun lainnya akhirnya sampai ke cucu Amaterasu, Ninigi.

Menurut legenda, kata Profesor Takenaka, sang dewi memberi tahu Ninigi: “Rawatlah cermin ini sebagai jiwaku, sama seperti engkau melayani Aku, dengan pikiran dan tubuh yang bersih.”

Ninigi dipercaya sebagai kakek buyut Jimmu, yang menurut legenda menjadi kaisar pertama Jepang pada tahun 660 SM.

Kusanagi no Tsurugi – pedang keramat

Lokasi Kusanagi no Tsurugi – atau pedang berada di Kuil Atsuta di Nagoya. Pedang melambangkan keberanian kaisar.

Menurut legenda, pedang keramat itu tumbuh di ekor ular berkepala delapan yang melahap anak-anak perempuan di sebuah keluarga kaya.  Sang ayah memohon bantuan Susanoo. Ia berjanji akan menyerahkan putri terakhirnya yang masih hidup sebagai istri jika ia bisa menyingkirkan ular itu. Susanoo membuat si ular mabuk, kemudian memotong ekornya dan menemukan sebilah pedang.

Tapi ia tidak lama memilikinya, pedang ini akhirnya diserahkan kepada saudara perempuannya, Amaterasu.

Kebenaran seputar keberadaannya jelas-jelas dirahasiakan — seorang pendeta yang mengaku pernah melihatnya pada periode Edo (di antara abad ke-17 dan 19) diusir.

Ada desas-desus bahwa pedang keramat itu mungkin telah hilang di laut dalam suatu peperangan di abad ke-12. Tetapi Profesor Takenaka mengatakan bahwa pedang itu itu  merupakan replika. Dan bahwa replika itu yang tersimpan di istana kaisar, hanya digunakan dalam acara penobatan.

Ketika Kaisar Akihito naik takhta pada tahun 1989 ia diberi pedang yang disebut Kusanagi no Tsurugi. Tapi kotak yang diberikan kepadanya sampai sekarang belum pernah dibuka.

Yasakani no Magatama – permata keramat

Magatama adalah manik-manik melengkung yang dibuat 1.000 tahun sebelum masehi. Awalnya manik-manik ini hanya sebagai dekoratif saja.

Menurut legenda, Yasakani no Magatama adalah bagian dari kalung yang dibuat oleh Ame-no-Uzume, dewi kegembiraan, yang memainkan peran penting dalam upaya memikat Amaterasu untuk keluar dari gua persembunyiannya.

Sang dewi kegembiraan melakukan tarian megah dengan mengenakan manik-manik untuk membuat kegaduhan dan menarik perhatian dewi matahari.

Bagaimanapun asal-usulnya, Yasakani no Magatama yang terbuat dari batu giok hijau mungkin merupakan satu-satunya barang “asli” yang tersisa di antara tiga harta karun.

Manik keramat itu disimpan di istana kekaisaran di Tokyo. Dan dalam upacara penobatan, melambangkan kemurahan hati seorang kaisar.

Apakah warga Jepang percaya?

Meskipun para kaisar Jepang masih menarik silsilah mereka dari Amaterasu, mereka tidak lagi mengklaim diri mereka sebagai dewa — Kaisar Hirohito melepaskan status keilahiannya setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.

Menurut Profesor Kawanishi ada banyak orang di Jepang yang masih menganggap benda-benda itu dikaruniai kekuatan ilahi. Tetapi kebanyakan orang sekarang menganggapnya lebih sebagai ornamen.”Agak mirip dengan mahkota kalau di monarki lain,” katanya.

Profesor Takenaka mengatakan ada juga pandangan di antara para cendekiawan bahwa ketiga harta keramat mewakili perpaduan dari kelompok-kelompok pribumi kuno Jepang dengan para pendatang baru.

Berdasarkan teori itu, katanya, ketiga harta keramat adalah simbol bahwa kaisar harus menyatukan kelompok-kelompok etnis tanpa diskriminasi.

Namun ia menambahkan bahwa pada abad ke-20, istilah “tiga harta” juga mengambil makna yang sedikit lebih praktis, yaitu ungkapan untuk tiga benda yang sangat penting bagi kehidupan orang Jepang: TV, kulkas, dan mesin cuci.

Reporter: Dinda Nurshinta

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here