Oleh: Sinta Pramesti )*
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menegaskan komitmen mereka untuk menjaga supremasi sipil melalui revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi ini dinilai penting dalam memastikan peran TNI tetap berfokus pada pertahanan negara tanpa menghidupkan kembali konsep dwifungsi yang pernah diterapkan di masa lalu. Sikap tegas pemerintah ini bertujuan menepis kekhawatiran publik terhadap potensi keterlibatan TNI dalam ranah sipil yang berlebihan.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menggarisbawahi bahwa revisi UU TNI tidak bertujuan mengembalikan dwifungsi TNI seperti pada era Orde Baru. Ia menegaskan bahwa pembahasan revisi ini dilakukan dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi yang menempatkan supremasi sipil di atas peran militer dalam sistem ketatanegaraan. Penekanan ini menjadi krusial karena adanya kekhawatiran dari beberapa kalangan masyarakat sipil terkait potensi peran ganda militer dalam pemerintahan.
Berbagai pasal dalam revisi UU tersebut telah diperiksa secara saksama untuk memastikan tidak ada ketentuan yang membuka ruang bagi kembalinya peran ganda militer. Dalam proses pembahasannya, DPR telah berkomunikasi dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan organisasi non-pemerintah, guna menyerap aspirasi serta mengakomodasi masukan yang konstruktif. Pemerintah dan DPR menyatakan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya mewujudkan transparansi dan inklusivitas dalam pembuatan kebijakan publik.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum) Supratman, Andi Agtas, menilai kekhawatiran tentang kembalinya dwifungsi TNI dalam revisi UU TNI tidak beralasan. Menurutnya, naskah akhir UU tersebut dengan tegas menempatkan supremasi sipil sebagai prinsip utama yang tidak bisa ditawar. Pemerintah juga memastikan bahwa ketentuan mengenai jabatan sipil yang boleh diisi oleh prajurit aktif sangat terbatas dan sesuai dengan kebutuhan strategis.
Salah satu aspek penting dalam revisi UU ini adalah pembatasan jumlah kementerian atau lembaga yang boleh diisi oleh prajurit aktif. Hanya 14 kementerian/lembaga yang diperbolehkan, dan di luar itu, prajurit wajib pensiun terlebih dahulu sebelum menduduki jabatan sipil. Kebijakan ini dirancang untuk menghindari tumpang tindih kewenangan antara militer dan sipil, sekaligus menegaskan bahwa supremasi sipil tetap menjadi pijakan utama dalam ketatanegaraan.
Proses komunikasi dengan publik juga menjadi bagian tak terpisahkan dari revisi ini. Sebelum menghadiri rapat paripurna, Menkum sempat menerima aspirasi dari mahasiswa yang menyuarakan kekhawatiran terkait potensi kembalinya peran ganda TNI. Pemerintah menegaskan bahwa aspirasi tersebut sudah didengar dan dipertimbangkan dalam proses pembahasan. Ruang dialog juga tetap terbuka bagi publik untuk memastikan kebijakan yang diambil selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan.
Komitmen pemerintah dalam menjaga supremasi sipil juga tercermin dalam upaya menyesuaikan batas usia pensiun prajurit. Anggota Komisi I DPR RI dari Partai Golkar, Gavriel Novanto, menilai bahwa penyesuaian usia pensiun didasarkan pada kebutuhan untuk menghindari stagnasi dalam kepemimpinan dan memperlancar regenerasi di tubuh TNI. Dengan adanya penyesuaian tersebut, pemerintah berharap bisa mempertahankan dinamika organisasi tanpa membebani keuangan negara.
Selain itu, revisi UU TNI ini bertujuan menegaskan batasan yang lebih rigid terhadap peran TNI di luar tugas-tugas pertahanan. Prajurit aktif hanya diizinkan menduduki jabatan tertentu yang diatur secara ketat dalam undang-undang, sehingga menghindari potensi tumpang tindih kewenangan dengan instansi sipil. Pemerintah menilai bahwa perluasan jabatan yang bisa diisi oleh prajurit aktif sangat terbatas, dengan hanya menambah lima lembaga dari total 10 yang sebelumnya sudah diatur dalam UU TNI yang lama.
Dukungan terhadap revisi ini juga datang dari berbagai fraksi di DPR. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menegaskan pentingnya menjaga prinsip supremasi sipil dan profesionalisme TNI dalam menjalankan tugas menjaga kedaulatan negara. PKS juga mendukung penambahan tugas TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), khususnya untuk melindungi warga negara Indonesia di luar negeri dan pertahanan siber. Hal ini sejalan dengan kebutuhan pertahanan modern yang terus berkembang.
Revisi UU TNI bukan hanya bertujuan memperjelas peran dan batas kewenangan TNI, tetapi juga memastikan bahwa lembaga ini terus berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Profesionalisme TNI sebagai garda terdepan pertahanan negara menjadi prioritas utama dalam perubahan ini. Pemerintah berharap, dengan adanya pembaruan kebijakan yang selaras dengan prinsip supremasi sipil, masyarakat bisa merasa yakin bahwa sistem ketatanegaraan tetap berjalan sesuai dengan semangat demokrasi.
DPR dan pemerintah menegaskan bahwa kekhawatiran yang muncul selama proses pembahasan adalah bagian dari dinamika demokrasi yang sehat. Dialog dan keterbukaan menjadi kunci dalam memastikan bahwa revisi UU TNI benar-benar mencerminkan aspirasi publik. Dengan mengedepankan supremasi sipil dan profesionalisme TNI, pemerintah optimis bahwa perubahan ini akan memperkuat institusi pertahanan tanpa mengganggu keseimbangan antara militer dan pemerintahan sipil.
Komitmen pemerintah dalam memastikan supremasi sipil melalui revisi UU TNI ini menegaskan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil tetap berada dalam koridor yang ketat dan terbatas. Dengan demikian, Indonesia diharapkan mampu menjaga stabilitas dan keamanan nasional tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun.
)* Pemerhati Kebijakan Publik