MATA INDONESIA, JAKARTA – Sebagai sebuah sumber ilmu, buku membawa banyak informasi bagi pembacanya. Dengan membaca buku, orang akan mendapatkan hal baru. Buku menjadi sumber pengetahuan bagi yang membaca.
Tapi, tidak semuanya.
Melarang buku bukanlah hal baru. Dari zaman dulu, selalu ada pelarangan karya-karya dengan berbagai alasan yang berbeda. Hal ini terjadi di berbagai tempat.
Dulu, Gereja Katolik melarang penyebaran alkitab terutama yang bukan bahasa latin. Kenapa harus bahasa latin, agar orang nggak salah mengartikan kata-kata dari Tuhan.
Di Tiongkok, sejak Pemerintahan Komunis Cina, penyebaran buku melewati fase-fase yang ketat. Jika sebuah buku dianggap nggak sesuai dengan ‘value’ pemerintahan maka akan dilarang. Biasanya, buku bertema politik dan pandangan dunia yang jadi korban.
Di Rusia pun begitu. Mereka ketat sekali dengan aturan imajinasi dan tulisan mereka. Di zaman Soviet, peraturan ini jauh lebih ketat lagi. Dulu di tahun 1958, ada seorang penulis yang dipaksa menolak penghargaan Nobel dari buku yang dilarang Rusia.
Padahal bukunya Borish Pasternak ini sangat diapresiasi di Italia. Tapi Rusia bersikeras menolak buku tersebut dengan alasan ‘tema yang religius’ dan ‘harga diri seseorang’.
Pelarangan ini malah memicu gerakan baru. Banyak orang jadi menulis, mengedit, menerbitkan, bahkan menyebarkan buku mereka sendiri. Hal ini adalah bentuk protes para penulis. Tapi, pemerintah selalu keras kepala: buku yang dilarang ditakutkan bisa memengaruhi pikiran rakyat yang mudah terbawa, kata mereka.
Di Inggris, buku yang dilarang biasanya karena terlalu vulgar. Seperti buku ‘Ulysses’ yang distribusinya dilarang. Alasannya karena buku tersebut mengandung tema seks, masturbasi, berkata kasar, bahkan buang air.
Sama seperti tulisan DH Lawrence. Bukunya dibakar karena berisi adegan seks yang berkaitan dengan spiritual.
Tapi, bukan itu saja. Penguin Publisher merilis ‘Lady Chatterley’s Lover’ yang jadi musuh baru pemerintah. Sidang pelarangan buku ini sempat terkenal. Mereka memanggil banyak penulis dan professor untuk menelaah ‘apakah buku ini harus dilarang?’
Tentu saja, Penguin kalah. Sampai sekarang, pemerintah Inggris masih melarang distribusi atau kopi dari buku tersebut, bahkan di luar negeri.
Kalau di Amerika, berbagai konten yang dilarang biasanya dilakukan atas kebijakan sekolah. Mereka punya prioritas untuk ‘tidak merusak’ pikiran anak.
Seperti pada Minggu Buku Terlarang, sebuah sekolah mengajukan tuntutan atas sebuah buku. Mereka beragumen bahwa prioritas mereka adalah menjaga moral para murid. Sedangkan ada buku yang berisi anti-Amerika, anti-Kristen, juga anti-Semitis yang dianggap menjijikkan.
Hasil dari sidangnya tidak merubah banyak. Sekolah tidak akan menghapus buku tersebut dari daftar buku di perpustakaan, tapi mereka tetap tidak setuju dengan isinya.
Beberapa sekolah di Amerika juga melarang buku bertema seks. Terlepas dari imej mereka sebagai negara yang ‘bebas’, kebanyakan buku yang ingin mereka ‘hapus’ biasanya bertemakan LGBTQ+. Namun tentu saja gerakan ini kontroversial. Pasalnya banyak orang yang merasa ‘kalau nggak suka, nggak perlu dibaca’.
Seperti buku ‘Uncle Tom’s Cabin’ yang sempat ramai pada tahun 1857. Bukunya tentang anti-perbudakan. Pemerintah tapi tidak suka dan bahkan seseorang sempat dipenjara karena memiliki buku tersebut.
Sama seperti guru yang dipecat dari sekolah karena mengajarkan buku ‘The Catcher in the Rye’ tahun 1960. Buku ini juga ditarik dari banyak sekolah di tahun 1989-an. Alasannya karena terlalu kasar dan vulgar untuk jadi bacaan anak sekolah.
Buku dilarang bukanlah hal baru. Dari Alkitab sampai novel. Tentu saja terlepas dari konten yang tidak cocok dengan nilai sosial, masih ada orang yang ingin membaca buku-buku tersebut.
Nah, ‘Banned Books Week’ itu untuk memperlihatkan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi kepada buku-buku tersebut. Para penggeraknya mengumpulkan buku-buku terlarang untuk dipamerkan dan dijual.
Dari cara mereka, orang sadar: kadang melarang sesuatu justru akan menarik lebih banyak perhatian. Ya, kan?
Penulis: Deandra Alika Hefandia