Resistensi Menuju Resiliensi, Menyikapi Pandemi Secara Realistis

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Tak terasa sudah dua tahun lebih lamanya kita sebagai bangsa Indonesia (dan juga dunia) bergumul serta berjuang menghadapi pandemi Covid-19.

Banyak dari kita yang sudah merasa bosan, lelah, atau bahkan mungkin juga putus asa dalam menghadapi situasi pandemi yang tak kunjung menemui titik terang ini. Berbagai macam upaya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah mulai dari penegakan aturan protokol kesehatan, penerapan PPKM, dan percepatan proses vaksinasi untuk membentuk imunitas kelompok masih menghasilkan dampak-dampak yang cenderung fluktuatif.

Di hadapan realita yang pelik seperti pandemi Covid-19, kita mungkin akan bertanya-tanya bagaimanakah kita seharusnya bersikap dan bertindak demi menjalani kehidupan yang tetap penuh kegembiraan dan gairah sekalipun di tengah-tengah situasi yang membuat kita merasa jenuh dan lelah? Kalau di awal tulisan ini saya membuka dengan menyebut kata “tak terasa”, maka barangkali bagi kita yang sudah mencapai titik jenuh tertinggi akan dengan keras berujar bahwa “dua tahun lebih ini sangat terasa”. Saya kemudian teringat dengan secuplik adagium dari teori relativitas Albert Einstein yang kurang lebih berbunyi: “apabila kita bersama dengan orang yang kita sayangi (situasi yang menyenangkan) dua jam terasa seperti dua menit. Namun, jika kita bersama dengan musuh (situasi yang tidak menyenangkan), dua menit terasa seperti dua jam.”

Adagium Einstein yang saya sebutkan sebagai pengantar dari tulisan ini, sebenarnya memperlihatkan realita tentang bagaimana cara kita memandang dan menyikapi situasi pandemi covid-19. Pandemi covid-19 kita pandang sebagai musuh yang harus dikalahkan dan ditaklukkan. Sedangkan kenyataannya, virus covid-19 yang mewakili kekuatan alam, lebih besar kekuatannya daripada kita manusia yang merasa mampu mengalahkannya. Buktinya, sampai sekarang pandemi masih ada dan bahkan muncul lebih banyak lagi varian baru yang siap mengancam bumi Indonesia bila kita lengah menjaga diri, mengabaikan protokol kesehatan, serta menolak untuk divaksinasi dengan berbagai macam alasan.

Saya tidak bermaksud untuk memandang usaha kita melawan pandemi secara pesimistis. Sebaliknya, saya mencoba mengajak kita untuk memandang situasi pandemi ini secara lebih realistis tanpa meninggalkan sikap optimistis. Kebanyakan dari kita terlalu berfokus pada soal memikirkan kapan pandemi ini akan berakhir sehingga pada akhirnya kita yang capek sendiri dengan situasi tersebut. Kita menunggu-nunggu kapan kita akan menang dari musuh pandemi. Padahal, kalau kita berfokus pada apa yang bisa dilakukan dan dikembangkan sekarang, mungkin masa-masa pandemi yang penuh dengan krisis bisa berubah menjadi peluang. Pandemi yang kita anggap sebagai “musuh” justru bisa berubah menjadi “teman” yang merangsang karya, kreativitas serta inovasi kita.

Dengan kesadaran bahwa pandangan kita terhadap masa pandemi mesti berubah sehingga tercipta ruang gerak yang lebih luas bagi kita untuk berkarya dan berkreativitas, maka saya akan menawarkan sebuah gagasan berpikir yang barangkali dapat menolong kita melalui masa pandemi dengan lebih menyenangkan pula menggembirakan.

Sebagai tambahan, saya juga akan membagikan pengalaman pribadi dalam upaya mensiasati dampak pandemi yang terkadang mendesak kita untuk mundur, stagnan, serta menyerah pada keadaan. Yang pertama, saya mulai dengan menawarkan gagasan berpikir dalam rangka menyikapi situasi pandemi secara realistis.

Pada bagian judul tulisan ini, saya telah mengemukakan dua kata kunci yang barangkali sudah pernah kita ketahui pemahamannya, yaitu resiliensi dan resistensi. Dua kata tersebut merupakan dua kata serapan dari bahasa inggris, yaitu resistance dan resilience dimana kedua-duanya mempunyai pengertian daya tahan, namun dalam penggambaran yang berbeda. Resistensi berbicara mengenai daya tahan yang dihasilkan dari sikap bertahan, menentang dan memberi perlawanan terhadap sesuatu. Sedangkan, resiliensi merupakan daya tahan yang dihasilkan dari sikap kelenturan, adaptif, serta fleksibilitas.

Pertanyaannya, manakah bentuk daya tahan yang lebih relevan dalam menyikapi tantangan-tantangan di masa pandemi? Bila kita memilih resistensi, maka sejauh manakah kita mampu bertahan? Bukankah berfokus pada perlawanan justru membuat kita dapat kehilangan kesempatan sehingga akhirnya mengalami stagnan? Sedangkan, bila kita memilih resiliensi, maka kita diajak untuk berani bersikap lentur dan fleksibel dalam menghadapi pandemi. Kekuatan dari fleksibilitas di masa pandemi terletak pada semangat menikmati dinamika-dinamika dalam pandemi ketimbang menjadikannya sebagai sebuah beban. Fleksibilitas menghasilkan insipirasi-inspirasi baru, budaya baru, serta memampukan kita untuk keluar dari batas-batas ruang gerak di masa pandemi. Masalahnya, beranikah kita merealisasikan pembaharuan-pembaharuan tersebut? Di masa pandemi ini, kita semua belajar bahwa kreativitas dan inovasi saja belumlah cukup. Keduanya perlu dijiwai oleh semangat dan keberanian untuk terus mencoba berbagai macam opsi yang tersedia, sehingga dapat menciptakan karya-karya terobosan yang berguna tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain.

Sebagai contoh konkret untuk memperkuat gagasan berpikir yang telah saya tawarkan sebelumnya, maka pada bagian kedua sekaligus bagian penghujung tulisan ini, saya akan membagikan pengalaman pribadi tentang bagaimana saya juga bergumul dengan godaan di masa pandemi untuk tidak bergerak (stagnan) dan hampir menyerah pada keadaan.

Saya mulai dengan mengungkapkan sebuah fakta universal mengenai pandemi, yaitu bahwa dunia nyata sekarang ini sedang bergerak menuju era go digital. Karena itu, tidak heran bila platform-platform media sosial seperti TikTok, Youtube, Instagram, dan lain sebagainya, kini banyak digandrungi oleh hampir semua kalangan mulai dari anak-anak sampai dewasa untuk menuangkan ide-ide kreatifnya dalam mengisi waktu luang di masa pandemi.

Ada yang mengambil bagian sebagai konten kreator, edukator publik, atau hanya sekadar mencari hiburan/informasi. Saya berada di posisi ketiga. Saya mengakui secara jujur bahwa menjadi seorang konten kreator dan edukator publik bukanlah menjadi minat dan bakat saya. Saya lebih suka menjadi penikmat konten-konten menarik dari media sosial sebagai sarana hiburan di media sosial. Meskipun demikian, kerapkali saya berpikir bahwa bila hanya menjadi seorang penikmat, kapan saya bisa menghasilkan karya sendiri seperti para konten kreator yang mampu menghasilkan karya-karya kreatif nan-menginspirasi.

Berhadapan dengan situasi seperti itu, saya tidak mau membiarkan diri berada dalam kebuntuan. Hidup selalu punya banyak pilihan. Kita tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang bukan menjadi passion kita. Karena itu, saya mencari jalan lain. Saya mencoba untuk menuangkan gagasan-gagasan inspiratif melalui tulisan dalam bentuk blog, jurnal ilmiah, artikel, opini, dan esai.

Banyak gagasan telah saya tuangkan, mulai dari isu tentang gender, pencegahan radikalisme, restorasi alam, pentingnya memupuk empati dan kreativitas pada anak di masa pandemi, sampai edukasi tentang penyakit kusta. Semua karya-karya tersebut saya kerjakan dengan gembira dan syukurlah bahwa disambut dengan gembira pula oleh para pembaca. Mengerjakan sesuatu yang menjadi passion kita memang menyenangkan dan mungkin saja dapat menjadi motor penggerak kreativitas bagi kita di masa pandemi dalam rangka menciptakan karya-karya terobosan versi kita. Intinya, temukanlah apa yang menjadi passion kita, kelola dan raciklah itu bersama-sama dengan kreativitas dan inovasi dalam semangat dan kegembiraan.

Dengan begitu, sekalipun di tengah-tengah masa pandemi, kita mampu membebaskan diri dari belenggu stagnasi serta keadaan yang mungkin secara “diam-diam” menuntut kita untuk menyerah. Kita masih bisa bangkit. mulailah dengan sikap resiliensi terhadap pandemi, akhirilah dengan keberanian berkreasi, Indonesia bangkit!

Penulis: Triardi Samuel Zacharias

  • – Facebook: Ardy Zacharias
  • – IG : @triardi_zacharias

 

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Tumbuhkan Cinta Tanah Air, Semangat Satu Darah Indonesia Dinilai Penting

Mata Indonesia, Yogyakarta - Puluhan warga DIY berkumpul di Waduk Sermo untuk menyuarakan cinta tanah air. Acara ini dibuat untuk seluruh anak rantau yang berada di DIY agar lebih cinta akan keberagaman yang ada di NKRI.
- Advertisement -

Baca berita yang ini