Para Penyembah Bola

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Dengan apa kita bisa menjelaskan kematian 127 penonton sepak bola pascakekalahan Arema saat melawan Persebaya?

Seberapa dalam kekecewaan yang dirasakan oleh seseorang hingga sampai melakukan tindakan nekad yang berujung pada kematian massal? Seberapa kuat kesetiaan seorang fans kepada tim bolanya hingga batas dukungan kepadanya adalah titik darah penghabisan? Sekuat apa cinta seseorang kepada sebuah tim sepak bola hingga hidup dan mati dipertaruhkan untuknya?

Fenomena kecintaan fans terhadap tim sepak bola pujaannya telah banyak menjadi perenungan banyak pihak. Howard Cosell, seorang jurnalis olahraga dari Amerika Serikat, menulis buku dengan berjudul After All, is Football a Game or a Religion? (Sesungguhnya, sepak bola itu permainan ataukah agama?). Pertanyaan yang sama sebetulnya telah dilontarkan banyak kalangan.

Sepak bola adalah olahraga yang mampu menyihir ratusan ribu manusia untuk merasangan ekstase bersama. Permainannya ibarat ritual massal, di mana para penonton secara berjamaah merasakan keriangan dan kesedihan bersama. Para pemain dipuja bak seorang nabi, kisah hidupnya diikuti dan perilakunya diteladani. Fans klub bola lain dihadapi seperti jamaah agama lain. Jika ada yang menganggu, para fans ini akan berubah menjadi tentara yang siap mati untuk membelanya.

Diego Maradona, legenda sepak bola dari Argentina dengan tegas menyatakan bahwa “Football isn’t a game, nor a sport; It’s a religion” (Sepak bola bukanlah sebuah permainan, juga bukan sebuah olahraga; Sepak bola adalah agama). Dari Negara Latin lain yang dianggap sebagai sumber pemain bola dunia, Brazil, lahir seorang pemain bola legendaris bernama Pele, yang menyatakan, “Football is like a religion to me. I worship the ball and treat it like a god” (Sepak bola sudah seperti agama bagi saya. Saya menyembah bola dan memperlakukannya seperti tuhan”).

Terhadap tim pujaan, tak ada pilihan lan kecuali mencintai dan bersetia kepadanya dengan segala pengorbanan, bahkan kematian jika memang dibutuhkan. Sebegitunya sepak bola di masyarakat kita saat ini. Suatu kali Eric Cantona, salah seorang pemain bola legenda Manchester United menyatakan, “You can change your wife, your politics, your religion, but never, never can you change your favourite football team” (Kamu bisa berganti istri, pilihan politik, bahkan agama, tapi kamu tidak akan pernah bisa berganti klub sepak bola favoritmu).

Karl Marx pernah menggambarkan agama sebagai candu yang meninabobokkan masyarakat (religion is the opium of the people). Seandanya Marx hidup kembali, saya ingin bertanya kepadanya: “Jika sepak bola adalah sebuah agama dan agama adalah sebuah candu, candu jenis apakah yang menggerakkan ribuan orang untuk melakukan kerusuhan dan kekerasan? Candu merk apakah yang membuat sebuah pertandingan sepak bola berakhir dengan kerusuhan dan ratusan orang meregang nyawa bergelimpangan?

Di ujung tulisan ini, kami ingin menyampaikan: “Dengan kepedihan mendalam, kami, keluarga besar UINSA Surabaya berbela sungkawa terhadap seluruh keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Tak ada satu pun olahraga yang bisa dibenarkan atas jatuhnya sebuah korban jiwa. Biarlah Tuhan saja yang menjadi Tuhan, karena sepak bola bukanlah agama.

Penulis: Ahmad Zainul Hamdi

Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Dari Posko ke Huntara, Korban Banjir Sumatera Mulai Bangun Kembali Keluarga

Oleh: Nuruddin Alwi Salman (* Bencana banjir bandang atau galodo yang melanda Kota Padang dan sejumlah wilayah di Sumatra Barat bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga guncangan sosial yang mendalam bagi keluarga terdampak. Rumah yang hanyut, mata pencaharian yang terputus, hingga rutinitas keluarga yang tercerai-berai menjadi realitas pahit yang harus dihadapi para pengungsi. Namun di tengah situasi tersebut, langkah-langkah cepat pemerintah dalam fasetanggap darurat hingga transisi menuju pemulihan menunjukkan arah kebijakan yang patutdiapresiasi. Perpindahan warga dari posko darurat menuju hunian sementara (huntara) menjadi simbol penting bahwa proses membangun kembali kehidupan keluarga telahdimulai. Perlu ditegaskan bahwa penanganan bencana tidak semata soal teknis infrastruktur, melainkan juga tentang keberpihakan negara pada pemulihan martabat dan ketahanan sosialwarga. Dalam konteks inilah, rencana pembangunan 100 unit huntara yang disampaikanPresiden Prabowo Subianto dalam kunjungan keduanya ke Sumatra Barat memiliki maknastrategis. Huntara bukan sekadar bangunan sementara, melainkan ruang transisi agar keluargadapat kembali menjalani kehidupan yang lebih stabil sebelum memasuki fase rehabilitasi danrekonstruksi hunian permanen. Presiden Prabowo menegaskan bahwa dalam waktu satu bulan para pengungsi tidak perlulagi tinggal di tenda. Pernyataan ini mencerminkan orientasi kebijakan yang menempatkanaspek kemanusiaan sebagai prioritas. Pengalaman tinggal di tenda dalam jangka panjangterbukti berdampak pada kesehatan, psikologis, dan kohesi keluarga, terutama bagi anak-anakdan lansia. Karena itu, percepatan pembangunan huntara merupakan intervensi sosial yang penting untuk mencegah kerentanan baru pascabencana. Lebih jauh, komitmen Presiden untuk segera melanjutkan pembangunan hunian tetap dengankualitas yang baik menunjukkan kesinambungan kebijakan dari fase darurat menujupemulihan jangka menengah dan panjang. Dalam literatur kebijakan publik, keberhasilanpenanganan bencana sangat ditentukan oleh konsistensi negara dalam memastikan transisiantarfase berjalan mulus, tanpa jeda yang membuat warga kembali terjebak dalamketidakpastian. Kunjungan Presiden yang disertai pengecekan langsung kondisi 271 jiwa dari85 kepala keluarga pengungsi juga memperkuat pesan bahwa negara hadir tidak hanyamelalui pernyataan, tetapi melalui tindakan nyata di lapangan. Dari perspektif politik kebencanaan, kehadiran langsung kepala negara di wilayah terdampakmemiliki efek simbolik dan praktis sekaligus. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, menilai kunjungan Presiden Prabowo untuk kedua kalinya pascabanjir sebagai buktikeseriusan pemerintah pusat dalam mempercepat pemulihan Sumatra Barat. Penilaian inirelevan, karena kehadiran Presiden di lapangan memberi sinyal kuat kepada seluruhkementerian dan lembaga bahwa penanganan bencana adalah agenda prioritas yang harusdikawal bersama. Dalam praktik pemerintahan, sinyal politik semacam ini sering kali menjadi faktor penentu percepatan koordinasi lintas sektor. Andre juga menekankan bahwa perhatian Presiden tidak bersifat seremonial, melainkandiwujudkan melalui pengecekan progres pembangunan dan pemenuhan kebutuhan warga. Hal ini penting dicatat, karena salah satu kritik publik terhadap penanganan bencana di masa lalu adalah lemahnya pengawasan implementasi kebijakan. Dengan turun langsung kelapangan, Presiden sekaligus menjalankan fungsi kontrol untuk memastikan bahwa kebijakanyang dirancang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terdampak. Penanganan bencana juga tidak bisa dilepaskan dari perspektif hak asasi manusia. DirekturKerja Sama HAM Ditjen HAM, Harniati, menegaskan bahwa penyaluran bantuan logistikkepada warga terdampak bukan sekadar sumbangan materi, melainkan wujud kehadirannegara dalam memastikan hak-hak dasar warga tetap terlindungi dalam situasi darurat. Pandangan ini sejalan dengan prinsip bahwa hak atas tempat tinggal layak, kesehatan, danrasa aman tidak boleh hilang hanya karena warga menjadi korban bencana alam. Dengandemikian, kebijakan huntara dan layanan dasar lainnya harus dipahami sebagai pemenuhankewajiban konstitusional negara. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi faktor kunci keberhasilan pemulihan. Wakil Wali Kota Padang, Maigus Nasir, menyambut baik atensi Ditjen HAM danmenekankan pentingnya kolaborasi lintas level pemerintahan. Dalam konteks otonomidaerah, percepatan pemulihan pascabencana sangat bergantung pada keselarasan kebijakanpusat dan kapasitas implementasi di daerah. Langkah Pemerintah Kota Padang yang mengakselerasi penyediaan hunian layak bagi warga yang rumahnya rusak berat atau hanyutmenunjukkan adanya keseriusan di tingkat lokal untuk menerjemahkan kebijakan nasional kedalam tindakan konkret. Dari sudut pandang sosial, perpindahan warga dari posko ke huntara memiliki dampaksignifikan terhadap pemulihan struktur keluarga. Huntara memungkinkan keluarga kembalihidup dalam satu atap, membangun rutinitas, dan memulihkan rasa normalitas yang sempathilang. Proses ini penting untuk memperkuat resiliensi sosial masyarakat pascabencana, sekaligus menjadi fondasi bagi pemulihan ekonomi dan pendidikan anak-anak yang sempatterganggu. Pemulihan pascabencana di...
- Advertisement -

Baca berita yang ini