MATA INDONESIA – Terus terang, akhir-akhir ini saya merasa miris apabila mengikuti perkembangan di Papua. Masih saja ada pertumpahan darah yang sia-sia. Kenapa kita tidak hidup damai saja, bersama-sama merajut kesejahteraan dan membangun kemajuan.
Saya memimpikan harapan ini karena mempunyai beberapa memori yang patut dikenang mengenai Papua, bahkan merasa ada ikatan emosional dengan Papua. Beberapa catatan dapat saya kemukakan berikut ini.
Pertama, pada tahun 1958/1959, saya duduk di kelas dua SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD) Negeri Benjeng. Sebuah desa di Kabupaten Gresik. Ketika sedang asyik belajar, tiba-tiba sekolah kedatangan tamu Tentara. Setelah ketamuan itu semua siswa dipulangkan, dengan pesan dari Ibu Guru Karsiyah agar nanti apabila mendengar bunyi bedug di masjid dan kentongan di Balai Desa dan Pos Ronda secara serentak, semua harus diam, berdiri mengheningkan cipta disertai berdoa dan mengucapkan kata-kata, ”Irian Barat hak milik kita”. Ibu Guru menyuruh agar lekas pulang dan meyampaikan pesan tersebut kepada orang-tua masing-masing dan semua sanak famili.
Kedua, pada waktu pidato Trikora (Tri Komando Rakyat) oleh Presiden Soekarno tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, saya sudah di kelas lima SR. Pak Guru Legimin, membawa kami sekelas ke rumah Pengusaha tetangga sekolah yang mempunyai radio untuk mendengarkan pidato yang sangat bersejarah tersebut. Setelah kembali ke kelas, Pak Guru menanyakan isi Trikora tersebut dan menerangkan selengkapnya yang isinya, ”Gagalkan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di daratan Irian Barat sebelum ayam berkokok 1 Mei 1963, dan laksanakan mobilisasi umum bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari penjajah Belanda.”
Ketiga, pada tahun 1963/1966 saya duduk di bangku SMP. Suatu pagi ketika berangkat ke sekolah, saya menemukan sobekan kertas pamflet Departemen Penerangan, ada gambar peta Irian Barat dan tulisan tangan Presiden Soekarno . Karena tertarik, sobekan kertas itu saya pungut dan terbaca tulisan yang seingat saya berbunyi,”Bantulah Pembangunan Irian Barat.” Dengan tandatangan Presiden Soekarno. Waktu itu, sebagai pelajar SMP sudah mulai memikirkan bagaimana membuat tandatangan yang bagus. Kita antar teman di kelas suka saling pamer tandatangan untuk diadu mana yang bagus dan menarik disertai ledekan dan ramalan-ramalannya. Dari tandatangan Presiden Soekarno yang terdapat di atas peta Irian Barat itulah saya kemudian terinspirasi meniru “S”-nya dan masih saya pakai sampai sekarang sebagai tandatangan resmi sejak menandatangani ijazah SMP tahun 1966.
Keempat, pada tahun 1987 saya berkesempatan mengunjungi Papua dalam rangka dinas dari kantor. Kota yang saya kunjungi antaralain Jayapura, Biak, Sorong, dan Merauke. Tepat ketika peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1987, bersama tim dan pengantar rombongan sedang sarapan pagi di suatu rumah makan khas masakan Jawa. Ketika dibacakan,”….Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.” Pengantar yang bernama Pak Imas spontan berteriak. ”Sejarah tidak bisa dihapus, Soekarno tidak bisa dihapus,” katanya berulang-ulang.
Karena kaget dan heran, saya lalu menanyakan, Pak Imas lahir di mana, kapan dan di mana dibesarkan, kok mengenal Bung Karno. Dengan bangga dia bercerita, bahwa dia orang Papua, lahir dan besar di Papua. Dulu, sewaktu zaman Belanda, orang-tuanya suka mendengarkan melalui radio kalau Bung Karno berpidato, dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan Belanda atau orang-orang yang pro Belanda.
Juga ada kisah menarik untuk saya kenang. Waktu dinas itu status saya masih bujangan dan bersama rombongan menginap di Hotel Matoa Jayapura. Ada karyawati resepsionis hotel yang cantik blasteran, bapaknya anggota TNI asli Papua dan ibunya berasal dari Cimahi – Jawa Barat. Di bagian cafetaria ada karyawati pramusaji yang hitam manis cantik khas Papua bernama Margaretha yang tinggal di jalan Ampera Jayapura. Kawan-kawan selalu menjodoh-jodohkan setiap kali sarapan pagi, dan jujur saya memang tertarik juga. Saat malam Minggu, saya coba bertamu ke rumahnya dengan maksud mau pendekatan. Tetapi oleh abangnya dibilang Eta sedang istirahat dan saya tidak sempat ngobrol karena tidak dipersilahkan masuk barang sejenak. Patah hatilah jadinya, baru berkhayal dan membayangkan pendekatan, sudah putus di tengah jalan karena harus kembali ke Jakarta besoknya. Pengalaman ini membuat saya masih suka berilusi, seandainya bisa berhasil menggaet Margaretha, mungkin keadaan Papua sekarang bisa menjadi tenteram dan damai. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan, ”Salam Sejahtera!” Buat Margaretha di mana pun saat ini berada, yang pada Juli/Agustus 1987 menjadi karyawati Hotel Matoa Jayapura di bagian Cafetaria.
Kesan saya selama bertugas, Papua memang sangat indah. Sebelum mendarat di Bandara Sentani, Danau Sentani nampak mempesona dari ketinggian, demikian juga semua kota dan daerah yang saya singgahi sangat menakjubkan.
Kelima, sekitar tahun 2002 saya mendapat kunjungan Johanes Aury yang mau pamitan karena dipindah-tugaskan ke Jayapura. Johanes Aury adalah pemain sepakbola nasional yang diterima sebagai karyawan PT Pertamina (Persero), beristerikan wanita NTT (Nusa Tenggara Timur). Ketika ngobrol dan berbincang-bincang, saya tanyakan kenapa kok beberapa oknum masyarakat Papua masih ada yang ingin merdeka. Dia bilang masyarakat Papua banyak yang kecewa. Dulu, sewaktu zaman Belanda, seseorang yang tamatan sekolah rendah saja bisa jadi Kepala Gudang dan hidup sejahtera. Sedangkan sekarang, harus sekolah yang cukup untuk bisa memegang jabatan yang sama. Fasilitas yang seharusnya untuk masyarakat Papua ternyata banyak dinikmati para pendatang, masyarakat Papua banyak terpinggirkan. Banyak pendatang yang sengaja datang untuk menikmati hak yang seharusnya hanya diberikan kepada masyarakat Papua. Dari situlah antara lain masyarakat Papua mengalami kekecewaan. Saya hanya menyampaikan pesan persaudaraan kepada Johanes Aury, mendoakan sukses dalam bertugas dan berkarir serta harapan saya kalau bisa mengembangkan persepakbolaan di Jayapura dan Papua secara keseluruhan.
Keenam, mengenai ibukota Provinsi Papua. Dulu, setelah kembali ke pangkuan NKRI, ibukota Irian Barat/Papua yang semula bernama Holandia, oleh Presiden Soekarno diubah menjadi Sukarnapura. Tetapi oleh rezim Orde Baru Soeharto, Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya, Sukarnapura diganti menjadi Jayapura dan Puncak Sukarno yang terdapat salju abadi di dunia, diubah menjadi Puncak Jayawijaya. Lalu, sewaktu saya masih di SMP antara 1963/1964 sampai 1965/1966, film di bioskop selalu didahului dengan pemutaran film penerangan dari Departemen Penerangan. Di antara film-film itu ada tentang kunjungan Presiden Soekarno ke Irian Barat dan ada adegan Presiden berangkulan mesra dengan para Kepala Suku di Papua. Lagi-lagi saya berilusi, kalau saja ibukota Papua masih Sukarnopura dan film Presiden Soekarno ke Papua ini selalu diputar kembali, mungkin kedamaian akan terwujud di tanah Papua yang indah dan mempesona itu. Bahkan, kalau saja Bung Karno tidak jatuh pasca peristiwa G30S tahun 1965, pasti pertambangan Freeport yang mengandung tembaga, emas dan uranium itu bukan dikuasai asing, melainkan kita kelola sendiri untuk kemakmuran bersama, khususnya dan terutama bagi masyrakat Papua.
Ketujuh, mengenai pembangunan di Papua. Saya mempertanyakan, kenapa pembangunan smelter PT Freeport kok di tanah kelahiran saya, Gresik Jawa-Timur. Kenapa tidak di Papua saja khususnya di pantai Selatan. Saya curiga jangan-jangan ada kesengajaan, ketika mengangkut bongkahan tanah tambang ada yang akan diselewengkan ke smelter awalnya di luar negeri ketika kita lalai dan lengah tidak mampu mengawasi perairan kita yang luas ini. Bongkahan itu mengandung tembaga, emas dan uranium yang tidak ternilai. Seandainya smelter Freeport dan industri yang lain dibangun di Papua, lalu mengutamakan masyarakat Papua sebagai SDM melalui pembibitan dan pembinaan pemuda/pemudi yang berpotensi dan berkualitas, niscaya kedamaian akan tercapai karena terciptanya kesejahteraan bersama yang adil dan beradab.
Kedelapan, mengenai hobi koleksi benda filateli. Sejak di SMP, saya mempunyai hobi mengoleksi benda filateli yang terdiri atas prangko, sampul surat berikut cap posnya, kartu pos serta benda pos lainnya. Di antaranya, saya mengoleksi tematik mengenai Irian Barat/Papua. Dari benda filateli itu saya bisa mengetahui lebih banyak mengenai tanah Papua misalnya peta bumi, flora-fauna, seni-budaya, kekayaan alam, dan kota-kota melalui cap posnya serta Sampul Hari Pertama (SHP) penerbitan prangko bercap pos Sukarnapura yang sudah langka dikoleksi para pehobi filateli.
Kesembilan, ketika berkunjung ke Sorong pada tahun 2004 dalam rangka tugas ke Kilang Minyak Pertamina Sorong. Saya berkesimpulan, kilang minyak Sorong layak dikembangkan sekalian untuk membangun Kawasan Indonesia Timur dan tercapainya satu harga BBM yang seragam dari Sabang sampai Merauke. Bersamaan dengan itu, kita wajib mencari bibit-bibit anak terbaik asli Papua untuk dididik berbagai cabang ilmu yang terkait dengan teknologi dan tata kota. Mereka diperlukan untuk membangun Papua yang indah dan maju di masa depan. Pesona alam, kekayaan adat-istiadat, seni dan budaya seta flora dan fauna yang khas bisa merupakan modal pengembangan pariwisata yang akan mendatangkan kedamaian dan kemakmuran.
Kesepuluh, pada tahun 2012 saya pernah menulis “Surat Pembaca” ke beberapa media massa cetak. Saya menyampaikan keprihatinan karena Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng Jakarta kondisinya rusak parah, dikanibal dan ditempati para gelandangan. Monumen yang diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1963 itu, pintu dan pagarnya yang terbuat dari logam stainless-steel banyak yang hilang dicopoti oleh orang-orang liar. Monumen itu tidak terjaga setelah Terminal Bus Kota Lapangan Banteng dihapus sehingga situasinya menjadi sepi dan lengang sepanjang hari. Kalau di kemudian hari Monumen itu direnovasi total oleh Pemda DKI Jakarta, saya “GR”, semoga itu karena “Surat Pembaca” yang juga sempat saya “google”-kan pada tanggal 24 Agustus 2012 itu telah dibaca dan diperhatikan oleh banyak orang. Sekarang, Monumen itu menjadi salah satu ikon dan destinasi pariwisata DKI Jakarta.
Kesebelas, adalah harapan kedamaian. Papua adalah bagian dari Bhinneka Tunggal Ika kita. Untuk membangun kesejahteraan dan kedamaian bersama dari Sabang sampai Merauke, antaralain perlu pendekatan pendidikan sesuai rencana pembangunan yang ingin dicapai dan dilaksanakan. Beasiswa di bidang teknologi dan kedokteran serta tata-kota perlu diperbanyak dan disebar ke seluruh wilayah tanah air untuk pembelajaran dan agar mereka saling kenal-mengenal sesama anak bangsa.
Pangkal dari semua itu, kedamaian akan tercapai kalau saja pemikiran dan pelaksanaannya perlu dilakukan dengan amanah, integritas tinggi dan penuh kejujuran di semua lini pemerintahan. Satu yang perlu dicamkan oleh semua pihak, bahwa pertumpahan darah dan penghilangan nyawa orang lain adalah perbuatan percuma yang akan menambah dosa saja. Dan itu pasti dilarang oleh agama, apa pun agama itu!.
Penulis: Muhammad Sadji
FB: @muhammadsadji