Pahlawan Berjubah di Era 4.0

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Not all heroes wearing cape.

Ungkapan itu sesuai dengan kisah pahlawan yang dulunya angkat senjata melawan penjajah kulit putih demi mempertahankan Republik. Namun di masa serba canggih, apakah pahlawan masih dianggap eksistensinya.

Apalagi dengan populasi pengguna media sosial yang didominasi milenial, tentu definisi pahlawan telah berubah. Bukan orang-orang yang berperang dengan celurit—melainkan para aktivis yang menggerakkan semangat anak-anak muda agar menjadi generasi penerus yang berkualitas. Sebut saja mereka adalah para entrepreneur dan founder-founder muda yang kerap menjadi pemateri di seminar. Para content creator dengan video-videonya yang informatif. Influencer di platform instagram, dan siapapun yang memberikan dampak positif pada generasi muda.

Sebagian besar generasi muda masih belum menyadari sosok pahlawan mereka di era ini. Pemahaman pahlawan menurut mereka adalah apa yang mereka nikmati dan cermati seperti tokoh-tokoh film, sebut saja MCU atau kompetitornya, DC, karena kisah yang lebih menarik diikuti. Padahal jika kita mencoba realistis, pahlawan di zaman sekarang lebih banyak diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dibanding alur drama yang asik ditonton.

Jika kita sederhanakan, sebenarnya pahlawan ini bisa disebut role model atau tokoh panutan orang-orang. Dari beberapa informasi yang saya dapat, role model anak-anak muda terkhusus pelajar atau mahasiswa, memilih tokoh yang bergerak di bisnis startup.

Contoh gamblangnya saja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim yang memegang jabatan CEO dari aplikasi anak bangsa; GoJek. Selain karena cerdas, Nadiem  adalah sosok menginspiratif karena berhasil di usianya yang begitu muda dan membuka peluang kerja yang besar. Bahkan perusahaannya masuk dalam list perusahaan yang mengubah dunia di peringkat 17.

Kata dosen saya di kampus, orang-orang semacam itulah yang pantas disebut sebagai hero di zaman sekarang, karena berhasil mengimplementasikan sikap pahlawan untuk menyejahterakan orang-orangnya. Bukan karena nama dan jabatan, namun tindakan yang mereka ambil untuk memerangi problem yang semakin modren.

Suatu saat ketika saya menjadi partisipan di mini bootcamp daring yang boleh diikuti secara gratis, salah seorang pembicara di sesi itu membahas tema tentang pentingnya mengaplikasikan ilmu di dunia nyata. Pembicara itu adalah Founder platform tersebut yang pernah berkarier di Australia dan Singapura, alumni universitas terkemuka, yang benar-benar seperti gambaran hero milenial sukses di negeri orang maupun negerinya sendiri.

Ia menciptakan platform edukasi online yang harga satu semesternya lebih mahal dari UKT saya. Dan tentu saja, bootcamp gratis itu menghimbau partisipan untuk mengikuti kursus-kursus yang mentornya mantan tim perusahaan besar di Indonesia. Namun satu kalimat yang tetap teringat hingga sekarang adalah, “Mengikuti kelas di platform ini berguna untuk mengasah soft skill kalian sebelum terjun ke dunia kerja. Karena no offense yah, saya tidak menjelekkan dosen juga. Tapi mengapa kalian harus berguru sama orang yang tidak mengaplikasikan ilmunya di kehidupan nyata.”    

Saya pikir partisipan lain sama syoknya dengan saya usai mendengar kalimat tersebut. Karena sosok founder yang dilabeli sebagai expert di bidangnya justru melantunkan kalimat semacam itu untuk menyinggung suatu profesi. Sebagai pemikir yang kuat, dan punya label di mata masyarakat, ucapan tersebut cukup membuat seseorang ter-triggered dalam waktu yang sama. Karena di sesi tanya jawab, ada salah satu partisipan yang berani berpendapat pasal kalimat kontroversial yang beliau ucapkan. Partisipan ini menilai bahwa hal tersebut perlu diragukan akurasinya, sebab belajar di universitas dan berguru dengan para dosen termasuk hak setiap mahasiswa. Hanya karena dosen statistika tidak menggunakan hal tersebut di kehidupan nyatanya, bukan berarti dosen tersebut tidak mengimplementasikan ilmunya sama sekali.

Sama halnya dengan guru Kimia, apakah para guru tersebut bahkan meneliti atom-atom di rumahnya? Mengaplikasikan ilmu di dunia nyata bukan berarti harus diterapkan di tiap hal.

Dan dari hal tersebut, saya rasa perlu diralat lagi definisi spesifik tentang pahlawan di mata milenial, di era yang serba canggih. Tak semua founder, pebisnis, dan kreator yang melakukan pekerjaan baik demi menyampaikan pesan informatif ‘patut’ disebut pahlawan. Di lain pihak, profil pahlawan justru melekat pada orang-orang yang berani melakukan mengkritisi stigma sosial untuk menghindari pemahaman yang salah. Menyetop pemikiran kolot akan suatu bidang yang bisa memicu permasalahan.

Bila kita mundur ke puluhan tahun lampau sebelum merdeka, pahlawan wanita berjuluk Kartini juga melakukan hal serupa. Peran beliau menjadi aktivis dan pelopor demi memperjuangkan emansipasi wanita dan kesetaraan gender adalah salah satu hal demi mematahkan stereotip sosial yang kolot pada zaman itu. Berkat teman korespondensinya, Rosa Abendanon, yang kerap mengirimi majalah tentang perempuan Eropa yang ber-mindset lebih maju, wanita yang bergelar R.A ini berinisiatif untuk melakukan hal serupa.

Kartini mulai mengirim surat-suratnya ke majalah wanita Belanda, yang sarat akan pengetahuan. Kartini berhasil mengangkat status sosial perempuan dengan mendiriikan sekolah. Beruntung ia menikah dengan bupati Rembang yangg mengizinkannya untuk mengajar meskii pada saat itu masih tabu. Meski belum sempat berkorban banyak, namun sekolah yang didirikannya menjdi pencetus sekolah Kartini di daerah-daerah lain. Aktivitas tersebut menjadii ‘upgrade’ bagi masyarakat khususnya perempuan. Mengikuti arus yang dimiliki bangsa barat yang ratusan tahun telah maju.

Tanpa Kartini, bisa jadi negara ini selamanya akan mundur. Masyarakat masih pada perilakunya yang mengotak-ngotakkan kodrat lelaki dan perempuan. Bergantung pada stigma bahwa lelaki harus bersekolah lebih tinggi, sementara perempuan harus siap berkutat di dapur sambil memiikirkan menu makan tiap hari. Bila Kartini hidup di zaman sekarang, generasi mileniial yang didominasi Generasi Z mungkin akan mengucap terimakasih karena memberanikan diri untuk ‘Speak-Up’ pada publik dan membawa perubahan.

Meskipun banyak pula pelajar perempuan  yang mengeluhkan haknya karena tugas yang terlalu berat. Beberapa pengguna medi sosial, khususnya wanita, belakangan ini sempat menyinggung Kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita karena pada zaman itu mata pelajaran tak sesulit sekarang. Konten semacam ini cukup tren dibuat, khususnya perempuan, dengan kalimat “Thank you, Kartini karena telah memperjuangkan hak kami dalam keilmuan. But, I can’t stand this anymore.” sambil menampilkan skema belajar yang rumit.

Fenomena ini mendapat cukup banyak perhatian dan komentar yang mengatakan, wanita tempo dulu mau bersekolah karena tidak mendapat pelajaran integral dalam matematika, fisika, kimia, dan lain sebagainya. Yang mana banyak disetujui oleh para pengguna media meski mereka tahu perjuangan pahlawan tersebut.

Tak setiap milenial atau generasi muda memandang dengan mata yang sama. Entah itu untuk lelucon semata atau di lingkup yang serius. Padahal masing-masing mereka punya privilege yang sama, yakni belajar. Jika pahlawan harus berperang dalam mempertahankan Republik, maka generasi muda harus siap bertarung lebih kuat agar mampu menyamai kehebatan negeri-negeri sekelas Jepang. Paling tidak untuk pahlawan yang telah gugur agar mereka tak merasa sia-sia memperjuangkan Indonesia.

Penulis: Arina Luthfiana

Ig: @itsme_arinaltfy 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pemerintah Tegaskan Komitmen Jaga Stabilitas Jelang Pergantian Tahun

JAKARTA - Menjelang Tahun Baru 2025, pemerintah memastikan berbagai langkah strategis telah disiapkan untuk menjamin keamanan, kenyamanan, dan stabilitas...
- Advertisement -

Baca berita yang ini