MATA INDONESIA, JAKARTA – Fenomena tewasnya 6 Laskar FPI, ‘pengawal’ Muhammad Rizieq Shihab (MRS) telah menjadi ‘bola liar’ yang dipergunakan oleh kelompok-kelompok tertentu. Imbasnya peristiwa tersebut tidak bisa dilihat secara utuh, Kalayak ramai hanya ‘terperangkap’ dalam peristiwa tewasnya 6 orang di jalan tol Jakarta-Cikampek tersebut.
Peristiwa yang menyebabkan 6 orang tewas tersebut harus dilihat dari rangkaian peristiwa sebelumnya terkait fenomena MRS, yang kemudian memunculkan pertanyaan kunci, kenapa MRS dalam peristiwa itu dikuntit, dibuntuti, atau dijejaki oleh sekelompok orang, atau lembaga tertentu.
Dalam perspektif intelijen dan keamanan, peristiwa tersebut adalah rangkaian dari operasi penjejakan (surveillance operation) dan berubah menjadi penyergapan (ambush) yang berakhir dengan tewasnya 6 orang tersebut.
Sebelum melakukan analisis lebih jauh ada baiknya kita memahami terlebih dahulu istilah penjejakan dan penyergapan. Penjejakan dalam bahasa populer berarti membuntuti target secara diam-diam agar target tidak lepas dari pandangan, kuncian atau dalam bahasa yang lebih ekstrim penjejakan dilakukan agar target tidak melakukan gerakan pelolosan (get away) atau kabur.
Penyergapan dalam bahasa populer berarti melakukan tindakan penghadangan secara terbuka dan tiba-tiba agar target tidak melakukan tindakan penyerangan lebih dahulu sehingga bisa menimbulkan pelolosan.
Kembali pada peristiwa di atas, sudah kita pahami bahwa rangkaian kendaraan MRS dibuntuti oleh pihak kepolisian ini diakui oleh pihak Polda metro jaya bahwa ada operasi penjejakan terhadap MRS. Jika demikian kunci penting dalam memahami peristiwa tewasnya 6 orang ‘pengawal’ MRS mengapa polisi memandang perlu ada operasi penjejakan terhadap MRS?
Sangat mudah menjawab pertanyaan di atas, ketika kita menempatkan MRS sebagai figur fenomenal dan kontroversi dengan rekam jejak kasus hukum yang membebaninya. Kasus itu selalu berujung pada tidak selesainya beberapa kasus hukum dan berupaya merubah perspektif hukum menjadi perspektif politik, bahkan berujung pada ‘kaburnya’ MRS ke Arab Saudi.
Jika demikian polisi berdasarkan analisis dan perkiraan keadaan (KIRKA) sudah patut melalukan upaya pengawasan dalam rangka pencegahan, dengan salah satunya melakukan operasi penjejakan terhadap MRS. Dalam peristiwa tersebut muncul analisis kenapa penjejakan berubah menjadi penyergapan yang menimbulkan korban 6 orang tewas?
Jika melihat pemahaman tentang penyergapan di atas, patut diduga target penjejakan melakukan manuver provokasi yang bisa menyebabkan tim penjejak diserang terlebih dahulu. Atau dalam hasil rekaman komunikasi yang didapat, tampaknya target berhasil mengecoh (dialog rekaman pada menit-menit terakhir yang terdengar target tertawa gembira dan ajakan untuk mengopi) tim penjejak. Sehingga tim penjejak kemungkinan merubah pola operasi dari penjejakan menjadi penyergapan, dengan tujuan agar target tidak melarikan diri.
Selanjutnya yang terjadi adalah penyergapan tiba-tiba yang berdampak pada dua kemungkinan , terjadi perlawanan dari target atau target menyerang terlebih dahulu. Pola skenario ini pada akhirnya memunculkan korban 6 orang tewas dari pihak target operasi.
Tindakan prosedur dan operasi penjejakan dan penyergapan dibolehkan dan dijamin oleh undang-undang dan bisa dilakukan oleh institusi seperti Polri, TNI, dan BIN.
Peristiwa tewasnya 6 orang ‘pengawal’ MRS adalah peristiwa yang tidak berdiri sendiri, tetapi harus dilihat dari rangkaian peristiwa yang terkait dengan figur, perilaku, dan opini MRS selama ini.
Iman Soleh
Peneliti kajian intelijen dan keamanan pada Indonesian Politics Research and Consulting (IPRC)