Di antara Persimpangan Glorifikasi Masa Lalu dan Masa Depan

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Suatu malam di bulan November. Di tengah hujan yang mengguyur Kota Yogjakarta. Saya menikmati lagu Guns N Roses, November Rain, dari spotify yang menyala dari laptop yang jadul.

Sambil sesekali melihat media sosial untuk mengusir dingin, terasa Kota Yogja menjadi begitu ritmis dan romantis. Tepat di chorus pertama, di lirik yang sangat menyentuh, “Cause nothin’ last forever, and we both know hearts can change, hard to hold a candle, in the cold November rain”, seketika imajinasi terhadap kesakralan lagu yang dinyanyikan Axle Rose ini pecah.

Lantaran, salah seorang teman di media sosial, mengunggah status yang menampilkan seorang mitra (driver) salah satu platform layan online, tengah mengantarkan bingkisan—mungkin itu nasi atau kue entahlah—di bagian bawah disertai kalimat hastag #selamatharipahlawan10November21.

Melihat status itu, saya menjadi sadar bahwa hari itu adalah hari besar nasional untuk memperingati jasa besar pahlawan yang gugur di medan perang, dalam mempertahankan kedaulatan dan otoritas negara, hari pahlawan 10 November 2021.

Setelah melihat status teman saya itu, saya berniat juga mengunggah status serupa, biar tidak terlalu kelihatan sebagai seorang aktivis, tapi kok lupa hari bersejarah bangsa sendiri. Tetapi saya menunda keinginan untuk menyelamati bangsa Indonesia yang tengah sampai pada hari bersejarah. Saya memilih untuk melanjutkan melihat status teman yang lain. Ternyata, teman-teman di circle saya, banyak yang mengunggah status ucapan hari pahlawan.

Ada gambar karikatur seorang pahlawan—seperti wajah Bung Tomo yang banyak ditemukan dalam buku mata pelajaran Sejarah—di sertai ucapan “selamat hari pahlawan 10 November 2021. Ada pula yang mengunggah gambar kepalan tangan—mirip kepalan tangan pada kemasan minuman berenergi yang khas berwarna kuning—juga disertai ucapan hari pahlawan. Saya berpikir sejenak, sungguh bervariasi cara orang-orang memperingati dan mengekspresikan hari pahlawan.

Hujan yang ritmis di Kota Yogja, sekaligus dilengkapi ekspresi banyak orang di dunia virtual tentang hari pahlawan, menyeretku pada pojok keragu-raguan ihwal ‘pahlawan’. Karaguan pertama yang muncul adalah, benarkah pemuda atau milenial saat ini ketika mendengar kata ‘pahlawan’, terbersit pada sosok pahlawan macam, Soekarno, Bung Tomo, Hatta, Cut Nyak Dien, hingga Diponegoro? Sepertinya tidak.

Salah satu temanku justru menempatkan driver layanan online sebagai pahlawan. Akhirnya, niatan saya untuk mengucapkan selamat hari pahlawan tertunda, karena ihwal keragu-raguan, siapakah sebenarnya yang penting untuk diteladani di hari pahlawan? Oleh karena itu, sebelum memberikan selamat hari pahlawan bagi bangsa dan negara, saya melakukan survei kecil atau jejak suara kepada teman-teman, tentang apa dan siapa itu pahlawan, melalui pertanyaan singkat lewat media sosial (chatting), dengan pertanyaan sederhana, “menurut kamu pahlawan itu apa/siapa?”.

Dalam survei kecil ini, arah bidik diarahkan pada teman-teman yang lahir di tahun 2000-an. Satu kelompok yang saya yakini sebagai generasi milenial tulen, karena mereka dekat dan lekat dengan entitas-entitas budaya modern, sebut saja misalnya teknologi dan memiliki kecendrungan untuk menelusuri isu secara radikal (kepo), melalui penjelajahan kanal-kanal internet.

Pertanyaan saya yang sikat di atas, direspons oleh 6 teman milenial. Teman pertama, menjawab pahlawan adalah orang yang gugur di medan perang melawan kolonial untuk mempertahankan bangsa Indonesia, seperti Bung Tomo. Milenial pertama ini, adalah seorang aktivis yang aktif di dalam gerakan-gerakan mahasiswa.

Teman ke dua, menjawab pahlawan adalah seorang guru, ia menjelaskan pengorbanan seorang guru dalam memberikan edukasi tanpa pamrih, tanpa mempedulikan honor guru yang terbilang masih sangat rendah. Teman kedua ini adalah, mahasiswa prodi keguruan yang bercita-cita menjadi seorang dosen di masa depan.

Teman ke tiga, menjawab pahlawan adalah ke dua orang tuanya, yang telah memberikan pengasuhan dan cinta begitu besar kepada anak-anaknya. Milenial ke empat menjawab pahlawannya adalah pacar barunya. Milenial laki-laki ini menjelaskan, kehadiran pacarnya yang baru, membuat ia keluar dari penderitaan kisah pilu, karena ditinggal pas lagi sayang-sayangnya oleh mantan pacarnya yang memilih berpisah karena alasan, ia adalah laki-laki yang terlalu baik bagi dirinya, dan tentu ini adalah alasan klasik, tidak kreatif dalam meninggalkan setumpuk cinta yang tidak lagi berharga.

Teman ke lima, menjawab pahlawan adalah captain America karena telah membela kebenaran dan menjaga keadilan. Teman milenial yang terakhir menjawab, pahlawan adalah Hariz Azhar, karena berkomitmen memperjuangkan hak azasi manusia dan semangat untuk menjaga lingkungan. Teman milenial yang terakhir ini, adalah seorang aktivis lingkungan yang berusaha konsen dengan isu-isu krisis ekologi.

Ternyata menyenangkan sekali mendengar jawaban yang bervariasi dari milenial tentang persepsi mereka perihal pahlawan. Hal pertama yang mendobrak pikiran saya dari survei kecil ini adalah, meskipun beberapa di antara milenial terkesan asal-asalan memberikan jawaban tentang siapa itu pahlawan, bagi saya ada hal mendasar yang digambarkan oleh sekian jawaban milenial ini. Hal pertama yang mesti disadari adalah, ada pergeseran paradigma tentang pahlawan pada generasi milenial, dan hal itu adalah sesuatu hal yang bagus dan sah-sah saja sebagai sebuah konsekuensi logis perubahan, hal paling inti dari kehidupan kata salah seorang filsuf Yunani, Heraclitos.

Hal penting ke dua yang dapat saya gali dari survei kecil ini adalah, generasi milenial telah keluar dari jeratan berpikir yang menjadi tradisi pendidikan bangsa ini, terkungkung di dalam romantisme masa lalu. Menempatkan kisah pahlawan di dalam teks-teks pelajaran sejarah, dijadikan sebagai hafalan wajib bagi anak-anak, merupakan suguhan yang tidak disadari telah mengkerdilkan imajinasi anak-anak sebagai penerus bangsa tentang apa itu pahlawan sebenarnya.

Oleh sebab itu, milenial yang menyebutkan pahlawan berdasarkan persepsinya sendiri, menandakan ia tidak terjebak pada jeratan berpikir yang sempit tentang apa itu pahlawan. Salah seorang sejarawan Indonesia, Bondan Kanumoyoso, mengucapkan bahwa cara bangsa ini memaknai pahlawan meninggalkan jurang lebar dengan realitas generasi ini (milenial). Asumsi ini sepertinya tidak berlebihan, mengingat fakta bahwa pelajaran sejarah di kelas-kelas sekolah sampai hari ini, mandeg di dalam glorifikasi masa lalu dan tidak relevan dengan kondisi kekinian.

Maka dari itu, sangat wajar apabila hari-hari ini, anak-anak milenial lebih gandrung pada tokoh-tokoh fiksi macam Captain America jika ditanya tentang pahlwan. Reales film Avengers cendrung lebih banyak ditunggu, lebih semarak, dan penuh sesak antrean di bioskop-bioskop, di bandingkan dengan menunggu 10 November sebagai hari peringatan pahlawan bangsa yang gugur.

Cerita tentang Avengers oleh karena itu, defacto, terlihat lebih mengasyikkan dan lebih khidmat dinikmati oleh milenials, dibandingkan dengan cerita pahlawan bangsa di buku-buku. Cut Nyak Dien, Pangeran Diponegoro, Patimura, Bung Tomo dan pahlawan-pahlawan lainnya, terpampang di buku-buku sejarah dan cendrung lebih efektif membuat rasa ngantuk datang tiba-tiba.

Menyalurkan Energi Pahlawan

Survei kecil saya, jika dibandingkan dengan survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei macam Litbang Kompas tentu sangat jauh perbedaannya, macam langit dan bumi mungkin. Survei Litbang Kompas terakhir tentang persepsi pahlawan bagi milenial, hasilnya cukup mengembirakan bagi pahlawan dan bangsa Indonesia.

Kaum muda milenial ketika ditanya tentang siapa itu pahlawan oleh Litbang Kompas 49% dari responden mereka menyebutkan pahlawan kemerdekaan yang gugur di medan perang untuk memperjuangkan kedaulatan negara. Sisanya, 36 persen untuk tokoh-tokoh populer, 9,6 persen untuk tokoh agama, 3,5 persen untuk tokoh visual imajiner yang diproduksi oleh industri-industri besar, umumnya tokoh pembela kebenaran dan keadilan, 4,6 persen memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan 0,4 persen menjawab tidak tahu. Survei ini jelas berbeda dengan survei kecil saya.

Pertama, responden Litbang Kompas tidak ada yang menjawab pahlawannya adalah pacarnya yang baru. Suatu hal yang menurut saya jawaban yang krusial, dan menggambarkan secara utuh bagaimana milenial membangun persepsi tentang arti pahlawan itu sendiri.

Persepsi tentang meneladani pahlawan hari ini, seharusnya sudah bergeser pada wilayah-wilayah yang sangat dekat dengan era di mana penerus bangsa tumbuh. Nilai-nilai dasar tentang pahlawan yang gigih, berani, bertanggung jawab, pantang menyerah, pembela kebenaran dan keadilan, berdedikasi, jujur dan beriman, tidak hanya ditempelkan pada sosok nama yang gugur di medan perang.

Cukup sulit bagi milenial, untuk menelusuri masa lalu yang penuh emosi hanya dengan buku-buku sejarah, karena situasi sosial yang sudah berganti dan berubah, membedakan dengan sangat tegas periodisasi pahlawan dengan milenials. Jika pahlawan menghadapi kolonialisasi fisik secara terbuka dari Belanda dan Jepang, anak muda milenials cenderung meyakini hari ini dan di masa depan penjajahan fisik seperti yang dialami oleh pahlawan tidak akan pernah terjadi lagi. Tantangan besar yang dihadapi oleh pemuda milenial hari ini adalah, kompetisi ketat di bidang industrialisasi dan globalisasi yakni, percepatan ekonomi yang bertumbuh dengan wajah neoliberalisme yang mengistimewakan pasar samasekali.

Menyalurkan energi pahlawan kepada anak muda milenial saat ini, hanya mungkin dengan merekonstruksi nilai-nilai positif yang diglorifikasikan oleh pahlawan di masa lalu, tanpa harus menempelkannya pada nama besar Bung Tomo, Diponegoro, Cut Nyak Dien dan lain sebagainya yang nyaris tidak dikenali oleh milenial secara utuh, mereka hanya menghafal patahan-patahan sejarah secara biografis, mulai dari nama, tanggal lahir hingga tahun meninggal. Jika disandarkan pada survei saya yang kecil tadi, hanya satu teman milenial yang menjawab secara tegas bahwa pahalwan adalah pejuang kemerdekaan negara, dengan menyebut Bung Tomo, selebihnya ada yang menyebut guru, pacar, tokoh pahlawan imajiner hingga pacar barunya.

Pun juga dengan Survei Litbang Kompas, responden yang menyebut pahlawan sebagai tokoh pejuang negara di masa lampau masih di bawah 50 persen responden (49% persen), suatu fakta yang menunjukkan bahwa, persepsi pahlawan bagi milenials hari ini, mengalami kesenjangan penafsiran dan nilai-nilai dari perjuangan pahlawan dan kemerdekaan dalam ruang lingkup anak muda milenial.

Berdasarkan survei Kompas, 51, 8 persen anak milenial menjawab pahlawan adalah seorang yang dapat memperjuangkan hak-hak rakyat dan kesejahteraan rakyat. Pun juga pada hasil jejak suara saya kepada teman-teman milenial tentang pahlawan, mereka lebih banyak mengkategorikan pahlawan pada karakter-karakter yang berjuang untuk hak-hak rakyat dan kesejahteraan dan keadialan. Seperti misalnya, teman milenial ke empat menjawab pahlawan adalah Captain America, dan teman milenial ke enam menjawab pahlawan adalah Haris Azhar, aktivis HAM dan lingkungan hidup.

Narasi tentang pahlawan di era milenial saat ini, sudah saatnya didesain ulang, terutama di dalam sistem pendidikan bangsa. Buku pelajaran sejarah tidak lagi hanya menampilkan sosok pahlawan di masa lalu, tetapi lebih jauh mengeksplorasi nilai-nilai positif pahlawan, dan menegaskan kepada anak-anak muda milenial bahwa, tokoh pejuang tidak harus melulu pahlawan yang gugur di medan perang. Pejuang adalah sosok yang bisa memberikan sumbangsih positif bagi negara dan bangsa, bagi komunitas, bagi lingkungan, masyarakat, kemanusiaan, HAM dan lain sebagainya.

Anak Muda Milenial

Sekali lagi, berangkat dari jejak pendapat kecil yang saya lakukan kepada anak muda milenial, di tengah Kota Jogja yang diguyur hujan, mengangkat sebuah perbedaan mendasar tentang persepsi anak muda milenial dengan pandangan kaum gerontokrasi melihat pahlawan. Kaum muda milenial lebih cendrung melihat hal-hal yang lebih kongkrit dan berguna bagi masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, anak milenial melihat pahlawan adalah sosok yang paling dekat dan berguna pada kehidupannya.

Ada yang menganggap pahlawan adalah kedua orang tuanya, karena cinta tanpa pamrih, ada yang menyebut pahlawan adalah pacarnya yang baru karena telah mengangkisnya dari jurang kegalauan yang menyedihkan, ada juga yang menyebutkan bahwa pahlawan adalah sosok gigih driver layanan online, yang memudahkannya mengakses segala kebutuhan mulai dari kebutuhan primer hingga sekunder. Persepsi tentang pahlawan bagi milenial ini, menandakan sebuah kenyataan bahwa, anak muda milenial tidak terpaku pada glorifikasi masa lalu, dan lebih yakin pada hal-hal kongkrit dan lebenswelt.

Pergeseran persepsi anak muda milenial memandang sosok pahlawan, tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial yang terjadi begitu massif dan radikal. Akselerasi teknologi dan informasi yang begitu sangat cepat, menciptakan budaya digital yang terkoneksi ke dalam jantung-jantung global. Arah berpikir anak muda milenial oleh karena itu, tidak tersekat pada batas-batas dimensi kultural dan ideologi, tetapi menembus batas-batas wilayah, hingga keyakinan. Keadaan ini memungkinkannya bertukar tambah pikiran dengan nilai-nilai baru dan budaya-budaya baru, serta pengetahuan baru di dalam arena yang disebut sebagai, global village.

Perubahan mendasar yang terjadi pada dunia secara umum ini, berdampak besar pada cara berpikir anak muda milenial. Kehadiran teknologi yang begitu pesat, jaringan informasi yang terhubung ke semua pelosok dunia, relasi sosio-virtual yang terkoneksi ke semua kelompok masyarakat dunia, menjadi sumber utama informasi anak muda memandang pahlawan di dalam era digital. Anak muda milenial, dapat bertemu dengan para tokoh dunia baik dalam bidang politik, budaya, hukum, HAM, lingkungan, agama, dan tokoh kemanusiaan, sesuai dengan karakter dan konsen anak muda milenial dalam menjalani ketertarikan dan kehidupannya. Oleh karena itu, pandangan pahlawan bagi milenial hari ini, adalah nilai-nilai positif yang paling dekat dengan dirinya, bukan suatu hal yang tejadi di masa lalu, atau entitas-entitas glorifies di masa lalu.

Lalu apakah ini wajar dan tidak mencedrai sikap nasionalisme? Menurut saya, justru anak muda milenial harus didorong untuk memiliki pahlawannya sendiri. Teman milenial saya yang menjawab pahlawan adalah Bung Tomo, belum tentu lebih baik dan berguna bagi bangsa dan negara, dibandingkan dengan teman milenial saya yang menjawab pahlawan adalah pacar baru atau Captain America.

Kenapa demikian? Sosok pahlawan masa lalu seperti Bung Tomo yang nyaris tidak memiliki rasa takut untuk mengangkat senjata mengusir sisa-sisa penjajah, belum tentu cocok dalam menjawab tantangan yang dihadapi oleh anak muda milenial, di tengah persaingan ekonomi industri 5.0 misalnya. Bisa jadi, sosok ‘pacar baru’ lebih cocok menjadi pahlawan, karena telah mengembalikan semangat dan kegigihan teman milenial saya untuk bertumbuh menciptakan formula-formula baru di dalam menjawab tantangan industrialisasi, membangun semangat berdaya saing internasional yang dapat memperbaiki ekonomi dan menumbuhkan kesejahteraan bangsa dan negara. Karena saya adalah anak muda milenial, pahlawan seperti ini tentu lebih nasionalis.

Jadi cukup jelas, bagi anak muda milenial pahlawan adalah sosok yang relevan bagi tantangan zaman. Sosok inspiratif, berdedikasi kepada masyarakat, dan menumbuhkan kesejahteraan sosial dan ekonomi, adalah sosok pahlawan yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, jika disimpulkan apa itu pahlawan bagi milenial, maka ia tidak hanya terbatas pada seorang figur, tetapi juga dapat diartikulasikan sebagai sebuah tindakan nyata. Anak muda milenial menyadari betul bahwa, dunia hari ini tidak melihat apa yang dikatakan oleh seseorang, tetapi percaya terhadap apa yang dilakukan oleh seseorang. Maka dari itu, nilai-nilai heroisme di dalam persepsi milenial tentang pahlawan, nyaris sudah terhapus samasekali. Tidak ada lagi gambaran tentang senjata api, tombak, bambu runcing, pedang, dan lain sebagainya di dalam cara berpikir anak muda milenial tentang pahlawan. Anak muda hanya berpikir tentang kebermanfaatan terhadap orang lain, dedikasi yang bernilai positif untuk menumbuhkan keadaan yang lebih baik di tengah masyarakat luas.

Generasi emas

Hal ihwal tentang persepsi pahlawan menurut anak muda milenial, tampak sangat jelas dibuktikan berdasarkan survei di atas, baik survei Litbang Kompas ataupun hasil survei kecil saya terhadap anak muda milenial yang lahir di tahun 2000-an. Sekali lagi, bagi milenial, pahlawan adalah ia yang dapat memberikan dampak kesejahteraan dan kebaikan bagi seluruh dimensi kehidupan, baik manusia ataupun non-manusia, ia dapat berupa figur atau berupa tindakan.

Persoalannya sekarang adalah, bagaimana menciptakan anak muda milenial yang siap menghadapi tantangan zaman. Sebagai fondasi penerus bangsa, pengelolaan sumber daya manusia penting direkonstruksi secara baik oleh negara. Disadari ataupun tidak, kemampuan seseorang tidak terbentuk secara serta-merta, akan tetapi harus didukung oleh lingkungan yang kuat, baik secara sistem ataupun kultur. Generasi milenial adalah generasi emas yang akan menentukan bangsa Indonesia di 2045. Anak muda milenial tidak bisa mengelak sebagai pemimpin yang akan menentukan peta jalan bangsa Indonesia di masa depan.

Untuk menciptakan generasi tangguh yang dapat bersaing di dunia internasional, dalam segala bidang, bukan suatu hal yang muda. Mulai dari ekonomi, politik hingga budaya, harus tumbuh secara alamiah dan kuat, menjadi landasan otentik anak muda milenial Indonesia untuk menempatkan Indonesia cemerlang di mata dunia.

Oleh karena itu, generasi emas ini harus bertumbuh dengan dasar potensi yang komprehensif, tidak terbatas pada satu dimensi saja. Akan tetapi, berdiri di atas semua potensi yang dibutuhkan dunia, karena di pundak anak muda ini masa depan Indonesia dipertaruhkan. Cita-cita kesejahteraan ekonomi di 2045 yang dibayangkan oleh Jokowi, tidak akan pernah terwujud tanpa terlebih dahulu membangun kesiapan anak muda milenial di masa kini.

Hal mendasar yang perlu dikedepankan dalam upaya membangun mental berdaya saing kuat anak muda milenial adalah, mengakomodasi persepsi anak muda milenial tentang pahlawan. Introduksi pahlawan yang penuh dengan narasi agung, glorikasi perjuangan, dan pemujaan yang cendrung hiperbolik, sudah seharusnya ditinggalkan. Pengenalan pahlawan dengan pola seperti ini, harus diganti dengan menjadikan semangat pewarisan nilai-nilai universal yang relevan dengan tantangan dan situasi zaman yang terus berkembang tanpa harus meninggalkan fakta sejarah di masa lalu, sesuai dengan persepsi milenial saat ini. Memberikan ruang yang cukup untuk mengekspresikan persepsi pahlawan bagi anak muda milenials, dengan mengakomodasi semua bentuk inovasi dan narasi-narasi baru yang ditawarkan anak muda, nilai-nilai pahlawan yang tinggal di masa lalu akan terus bertumbuh relevan dengan tantangan zaman saat ini.

Dengan memberikan ruang yang cukup, dan persepsi milenial tentang pahlawan sesuai dengan zamannya dapat diakomodasi dengan baik, maka pahlawan tidak hanya akan menjadi realitas masa lalu yang menempel pada orang-orang yang sudah tenang di alam yang lain. Akan tetapi pahlawan akan menjadi realitas masa kini (living heroes), yang akan membawa Indonesia gemilang di masa depan, bersaing kuat dengan negara-negara lain di kancah internasional. Oleh karena itu, biarkan anak muda memiliki pahlawannya sendiri, maka dengan begitu ia akan menjadi pahlawan bagi masa depan bangsa ini. Tidak peduli persepsi pahlawan bagi anak muda adalah sosok driver layanan online, pacar baru, avengers, orang tua, kiai, dan lain sebagainya, mereka memiliki narasi sendiri di dalam membangkitkan dan menjaga nilai-nilai dan marwah pahlawan dengan caranya sendiri di zaman ini.

Persepsi seperti ini, tentu akan banyak yang menentang. Salah satunya mungkin, asumi bahwa, persepsi ini dianggap awal dari penghilangan sejarah, tidak menghargai jerih payah dan tumpah darah pahlawan di masa lalu. Meninggalkan orang-orang yang berjasa besar terhadap bangsa Indonesia di masa lalu, selama ini sering dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak sopan dan arogan. Alasannya adalah, bangsa Indonesia hanya akan menjadi sebuah bayang-bayang seperti yang dikatakan oleh Benidict Anderson, tanpa perjuangan pahlawan di masa lalu. Narasi seperti ini, banyak dibangun oleh kelompok-kelompok gerontology yang tidak bisa mengubah persepsi mereka tentang pahlawan dan bangsa. Kedekatan iklim sosial gerontology dengan periode hidup pahlawan, juga sangat berpengaruh kuat di dalam membentuk keyakinan kelompok tua ini tentang pahlawan sebagai monument sejarah. Asumsi ini tidak jadi soal untuk didengarkan, tetapi menjadi masalah jika dipertahankan. Keyakinan terhadap glorifikasi pahlawan di masa lalu, seperti terpahat di dalam asumi kelompok tua bangsa ini, hanya megah sebagai sebuah narasi, tetapi buruk sebagai aplikasi.

Dalam konteks ini, pemerintah sepertinya perlu untuk mengambil langkah berani dan radikal, untuk melakukan redefinisi terhadap arti kata pahlawan sekaligus cara pengkhidmatan atas pahlawan bangsa. Misalnya, memproduksi kebijakan baru terkait dengan definisi pahlawan di era milenial. Kebijakan ini diorientasikan pada sebuah mekanisme yang tidak menetapkan seseorang sebagai pahlawan nasional saja, akan tetapi dapat diwujudkan dalam bentuk berupa penghargaan terhadap individu atau kelompok yang dianggap berjasa besar di dalam suatu bidang tertentu yang mereka tekuni. Langkah-langkah seperti ini, secara murni akan menumbuhkan inspirasi kepahlawanan di tengah kemajemukan bangsa Indonesia yang sangat heterogen samasekali.

Langkah-langkah baru dan inovatif seperti ini, penting untuk dilakukan oleh pemerintah agar dapat mengakomodasi persepsi kepahlawanan bagi anak muda milenial sebagai pemimpin bangsa di masa depan, dengan tantanagan yang semakin kompleks. Tantangan yang dihadapi oleh milenial, tidak berwujud nyata seperti ancaman penjajahan fisik dari luar yang terbentuk di dalam pikiran kelompok tua. Sehingga persepsi kepahlawanan yang terbentuk di dalam diri milenial, tidak selalu merujuk pada tokoh-tokoh tertentu yang membela Indonesia di medan perang, seperti yang dihadapi oleh generasi sebelumnya. Generasi muda milenial menghadapi musuh yang tidak konkrit, atau bersifat ancaman fisik dari luar secara faktual, akan tetapi milenial justru menghadapi ancaman dari pelbagai sudut yang menyentuh semua sektor kehidupan di era ini. Mulai dari persoalan degradasi lingkungan, sosial ketenagakerjaan, teknologi, seni dan kearifan lokal yang cendrung semakin menyusut, korupsi, politik, hukum, ekonomi dan industrialisasi, dan lain sebagainya menunggu respon jitu dari milenial.

Langkah-langkah baru pemerintah di dalam merekonstruksi arti pahlawan bagi anak muda milenial, selain sebagai upaya untuk melakukan dan menanamkan nilai-nila kepahlawanan kepada anak muda penerus bangsa, upaya ini juga dapat menjadi panduan pokok bagi anak muda generasi milenial, untuk menumbuhkan nilai-nilai kepahlawanan di dalam diri, melalui inspirasi-inspirasi baru yang relevan dengan situasi sosial yang berkembang saat ini. Misalnya, memberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang berjasa di dalam berbagai aspek, menjadi implementasi yang memberikan solusi untuk menjaga nilai-nilai kepahlawanan tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Pahlawan bagi milenial seperti yang digambarkan di atas, adalah setiap orang atau kelompok yang berani mengambil langkah-langkah maju untuk memperbaiki dampak negatif di semua aspek kehidupan. Artinya bagi milenial, gelar pahlawan dapat tumbuh di pundak siapa saja dan bisa dipersembahkan kepada siapa saja, yang memiliki inesiasi kebaikan. Pangkat pahlawan bisa di pundak dan dipersembahkan kepada buruh migran, yang telah berjuang sebagai sumber devisi negara, sekaligus tenaga kerja ini mendongkrak secara massif perekonomian terbesar, khususnya di daerah pedesaan. Buruh migran oleh karena itu, dapat disematkan gelar pahlawan karena telah menjamin anak-anak desa untuk terus mengenyam pendidikan, mendorong lahirnya generasi-generasi muda milenial penerus bangsa di kampus-kampus, bersaing secara ketat dengan anak-anak generasi milenial kota bahkan dunia, untuk menjadi pemimpin dan pahlawan bagi bangsa di masa depan.

Pemerintah dalam hal ini, harus dapat memperhatikan seluruh aspek bangsa. Mulai dari mengatur sistem pendidikan hingga memperhatikan nasib buruh migran Indonesia yang tersebar ke seluruh penjuru dunia. Seperti persoalan hukum, ancaman hukuman mati, kekerasan fisik hingga kekerasan seksual yang dihadapi oleh buruh migran di luar negeri, yang tidak sebanding dengan julukan pahlawan devisa. Contoh yang lain misalnya, kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan, selain menyebabkan kerugian materi dan menelan tidak sedikit korban jiwa karena asap kebakaran yang terlalu besar, serta menyumbang terhadap perubahan iklim yang semakin ekstrim, harus dapat dijawab oleh pemerintah dengan langkah-langkah kebijakan yang akomodatif terhadap persoalan ini. Misalnya memproduksi kebijakan yang dapat mengembalikan identitas lingkungan, dengan cara mewujudkan lingkungan yang lestari dengan mencegah segala bentuk pembakaran atau pembalakan hutan, dan aktivitas-aktivitas lain yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Termasuk berani mengambil langkah tegas terhadap korporasi yang tidak mengedepankan lingkungan yang lestari.

Melalui langkah-langkah seperti ini, berani mengambil resiko yang tinggi untuk menciptakan kebaikan, dan mencegah dampak negatif di masyarakat, pemerintah akan menjadi simbol pahlawan (living heroes) yang akan diteladani oleh generasi milenial. Ketika pemerintah berdiri sebagai cerminan pahlawan, pewarisan nilai-nilai kepahlawanan kepada anak muda milenial akan menjadi lebih mudah dan berjalan secara alamiah. Selama ini, penyebab tersumbatnya kran yang menyalurkan nilai-nilai kepahlawanan dari generasi tua ke genarasi muda adalah, tidak adanya sikap dan perilaku keteladanan yang bisa diambil dari para elit oleh pemuda milenial. Perilaku konsumtif yang menggambarkan secara kasat mata hedonisme di kalangan elit, serta kasus-kasus etika ke Indonesia, seperti perilaku korup, menyebabkan kerugian dan penurunan derajat adab dan nilai-nilai ketimuran bangsa Indonesia. Menjadi faktor penting kenapa generasi muda milenial sulit mencari figur dan inspirasi yang tepat pada diri elit Indonesia dalam meneladani kepahlawanan.

Selama ini, elit hanya menunjukkan sikap simbolik yang dangkal di dalam meneladani pahlawan. Misalnya, kegiatan seremonial di hari pahlawan setiap tanggal 10 November, dengan upacara bendera dan kegiatan tabur bunga di makam pahlawan tertentu. Selebrasi hari pahlawan oleh para elit, jarang sekali ditunjukkan dengan kegiatan pemaknaan dan penanaman nilai-nilai kejuangan yang lebih realistis dan faktual menyentuh aktivitas sehari-hari. Misalnya, melakukan gerakan hijau untuk mengurangi ancaman degradasi lingkungan, gerakan melawan kejahatan korupsi, gerakan anti kekerasan terhadap perempuan, penanaman nilai-nilai solidaritas dan kesatuan di tengah perbedaan, dan lain sebagainya.

Melalui upaya-upaya kreatif dan berkesadaran dari elit untuk menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada generasi milenial, narasi tentang perjuangan gigih pahlawan di masa lalu, akan terjaga menjadi sebuah energi yang dapat diekspresikan menjadi tindakan positif yang relevan dengan situasi perkembagan zaman hari ini. Pada posisi ini kemudian, ketika pewarisan nilai-nilai kepahlawanan dapat disalurkan dengan perilaku dan sikap positif oleh elit, kemungkinan bangsa ini mengalami krisis kepahlawanan di tengah munculnya pahlawan-pahlawan baru yang lahir dari nyaris semua dimensi kehidupan generasi milenial, tidak akan dapat menggantikan nilai-nilai positif yang bertumbuh dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Milenial Indonesia untuk dunia.

Penulis: Shohebul Umam

Fb: Shofibul Umam Jr

Ig: Shohebulumamjr

Twitter : @shohebulumamjr

 

 

 

 

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sambut Hari HAM Ius Humanum Gelar Talk Show soal “Perlindungan Terhadap Pekerja Non Konvensional : Pekerja Rumah Tangga”

Mata Indonesia, Yogyakarta - Dalam rangka menyambut peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh pada 10 Desember 2024, kali ini Ius Humanum menyelenggarakan Talkshow dan Diskusi Film dengan Tema, "Perlindungan terhadap Pekerja Non-Konvensional : Pekerja Rumah Tangga" yang bertempat di Pusat Pastoral Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta (PPM DIY).
- Advertisement -

Baca berita yang ini