MATA INDONESIA, JAKARTA – Saat Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Belanda masih berniat menguasai kembali tanah jajahannya. Sebagai negara kecil di Eropa, Belanda berharap bisa membonceng Inggris sebagai salah satu negara pemenang Perang Dunia II untuk bisa masuk kembali ke Indonesia.
Upaya Belanda menguasai Indonesia dengan berbagai cara. Salah satunya dengan teror dan penindasan kepada masyarakat Indonesia. Salah satu kasus penindasan yang cukup terkenal adalah Pembantaian Rawagede. Ini merupakan peristiwa mengerikan yang terjadi kepada rakyat Indonesia khususnya di Jawa Barat.
Pada tahun 1947, militer Belanda berhasil menguasai Jawa Barat. Saat itu para pejuang kemerdekaan di Jawa Barat tidak mau tunduk kepada Belanda. Mereka pun mundur ke pedesaan dan melakukan taktik gerilya untuk melawan Belanda.
Lukas Kustaryo merupakan salah satu kapten tentara Indonesia yang menggunakan taktik gerilya ini di desa Rawagede. Pria kelahiran 20 Oktober 1920 ini merupakan buronan Belanda. Bahkan kepalanya dihargai 10.000 Gulden. Karena kemampuannya dalam menyusun strategi dan menyulitkan Belanda. Ia mendapat julukan “Begundal Karawang”.
Belanda pun mengerahkan mata-mata untuk mencari keberadaan Kustaryo. Mata-mata mendapatkan posisi Kustaryo berada di Rawagede. Alphonse Jean Henri, seorang Mayor Militer yang memimpin pasukan Belanda saat itu segera menyiapkan strategi untuk meratakan Rawagede. Tujuannya sebagai pembelajaran bagi desa-desa lain yang menyembunyikan pejuang republik.
8 Desember 1947, bersamaan dengan hujan deras yang mengguyur Rawagede saat itu seakan menangis dan tahu bahwa akan ada kejadian berdarah yang terjadi. Lurah Rawagede, Saukim, yang melihat gelagat aneh dari mata-mata Belanda memberi tahu Markas Gabungan Pejuang (MGP) untuk segera pergi melarikan diri dari Rawagede. Namun evakuasi agak sulit karena cuaca yang buruk saat itu.
Tepat jam 4 pagi, 9 Desember 1947, Belanda datang bersama pasukannya mengepung Desa Rawagede. Pasukan Belanda datang dengan 300 personel. Mereka membawa persenjataan lengkap dan langsung memerintahkan agar semua laki-laki termasuk remaja untuk keluar dan berdiri berjejer di lapangan terbuka.
Belanda menanyakan tentang keberadaan Kustaryo yang saat itu sudah melarikan diri. Seluruh penduduk desa yang sudah sepakat untuk menutup mulut tidak ada yang memberitahu informasi sekecil apapun kepada Belanda. Kesal karena tidak mendapatkan informasi, Belanda mengeksekusi semua laki-laki dan remaja. Perkiraannya ada 431 warga Rawagede yang menjadi korban.
Setelah 64 tahun kasus ini ditutup-tutupi, pada 14 September 2011 pengadilan Den Haag menyatakan bahwa Belanda bersalah dalam kasus Pembantaian Rawagede. Tjeerd de Zwaan, Duta Besar Belanda untuk Indonesia menyampaikan permintaan maaf mewakili negaranya sekaligus menjalankan perintah pengadilan, yaitu membayar kompensasi sebesar 240 Juta Rupiah kepada sejumlah janda korban.
Reporter: Desmonth Redemptus Flores So