MATA INDONESIA, HONG KONG – Dulunya kosong bak pulau hantu, kini pulau Yim Tin Tsai bangkit kembali. Semua itu berkat Colin Chan, perwakilan warga yang pernah mendiami pulau tersebut sekitar 40 tahun silam.
Colin adalah generasi ke delapan dari leluhurnya, yang menetap di sana hingga usianya tujuh tahun. Setelahnya ia pindah ke Sai Kung dan Inggris untuk mengenyam pendidikan. Leluhur Colin sudah menetap di pulau Yim Tin Tsai selama lebih dari 300 tahun yang lalu.
Colin mengaku sedih dan kecewa ketika pertama kalinya melihat keadaan pulau tempat ia tumbuh bersama keluarganya rusak. Usai ditinggalkan oleh seluruh penduduk, pulau ini penuh dengan lumut, tanaman-tanaman liar, rumah-rumah yang rusak, serta lapangan coklat yang berdebu. Karena inilah kedatangannya memang sengaja untuk memperbaiki kembali dan menghidupkan pulau ini.
Sebenarnya dulu, Yim Tin Tsai hanyalah pulau kosong yang berada di timur laut Hong Kong. Lalu pulau tersebut dihuni oleh komunitas Hakka, klan yang bermigrasi dari Cina Utara berabad-abad yang lalu. Mereka menetap di sana dan mendulang garam untuk mencari nafkah. Karena kala itu seluruh penduduknya bertahan hidup dengan cara mendulang garam, pulau kosong itu akhirnya dinamai pulau Yim Tin Tsai, yang berarti ‘pendulangan garam kecil’ dalam bahasa Kanton.
100 tahun yang lalu, pendulangan garam akhirnya tutup karena kalah saing dengan produksi Cina dan Vietnam. Inilah yang membuat mayoritas penduduk beralih menjadi nelayan, petani, dan peternak. Di tahun 1940-an, populasi penduduk di pulau tersebut mencapai 500 hingga 1.200 orang.
Namun tahun 1960-an banyak penduduk yang pindah ke kota bahkan negara lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Penduduk terakhir yang menetap di Yim Tin Tsai akhirnya pindah pada tahun 1990-an. Setelahnya, pulau tersebut resmi kosong dan ditinggalkan dengan rumah-rumah yang semakin lapuk.
Informasi mengenal Colin, ia terpilih sebagai perwakilan desa di tahun 1999, dan berniat melakukan misi panjangnya, yakni membangkitkan kembali pulau itu. Di tahun-tahun awal, Colin fokus menciptakan komunitas yang berlandaskan misi untuk melestarikan pulau ini dengan cara membangun dan membangkitkan kembali pulau tersebut. Anggota-anggota yang tergabung dalam komunitas adalah penduduk yang pernah mendiami Yim Tin Tsai.
Nama pulau ini semakin terkenal sejak tahun 2003, saat Gereja Katolik mengkanonisasi Josef Freinademetz, seorang misionaris berpengaruh yang pernah tinggal di pulau tersebut pada tahun 1800-an. Setelah berita tersebar, umat Katolik dari berbagai belahan dunia menandai pulau ini sebagai tempat ziarah. Dari hal ini, Colin mengupayakan agar para peziarah dan pengunjung yang datang diterima dengan tangan terbuka.
Upaya Colin selanjutnya adalah menggalang dana bersama komite yang beranggotakan 10 mantan penduduk untuk membangun pusat turis. Pada 2004, sebuah lembaga amal mendonasikan dana untuk merenovasi kapel bersejarah di pulau tersebut melalui Gereja Katolik.
Kapel tersebut adalah kapel tertua di Hong Kong yang dibangun oleh para misionaris Katolik pada tahun 1890. Kapel tersebut sangat sederhana namun elegan dengan dindingnya yang berwarna putih, jendela kaca yang bercahaya, ruang doa yang khusyuk, dan beberapa baris bangku kayu yang disusun menghadap altar minimalis dengan balutan perpaduan warna merah dan emas. Satu tahun setelah mendapat donasi, yakni tahun 2015, kapel tersebut mendapat penghargaan dari UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards for Heritage Conservation.
Berangkat dari penghargaan ini, Colin bersama dengan komitenya termotivasi untuk menggelar pameran mengenai sejarah unik pulau tersebut. Mereka mulai membuat rute jejak sejarah, merenovasi rumah leluhur komunitas Hakka, menciptakan museum keramik dan alat dapur, serta membangun kebun organik untuk menarik perhatian pengunjung.
Tak luput, mereka juga berkoordinasi dan menyediakan feri reguler untuk para pengunjung yang mengunjungi Yim Tin Tsai. Semua ini dilakukan Colin untuk membuat Yim Tin Tsai bagaikan museum hidup yang mampu memberikan edukasi kepada pengunjung seputar sejarah Yim Tin Tsai.
Misi-misi Colin berjalan dengan sukses. Setelahnya, Colin beralih fokus ke pendulangan garam. Ia ingin mengubah lapangan coklat yang kotor dan berdebu menjadi pendulangan garam yang beroperasi penuh, lengkap dengan pusat informasi bagi pengunjung untuk memberikan penjelasan mengenai langkah-langkah pembuatan garam. Meskipun tidak mampu memproduksi cukup garam untuk keperluan bisnis, namun pendulangan garam ini memang sengaja dibuat kembali untuk bernostalgia.
Di tahun 2015, pendulangan garam akhirnya meraih pengakuan UNESCO terkait konservasi sejarah industrial Hong Kong, yang diperkirakan sudah ada sejak 2.000 tahun lalu.
Di tahun 2016, Yim Tin Tsai kedatangan 34.000 pengunjung. Tentunya para pengunjung ingin mengeksplorasi jejak sejarah, mempelajari pendulangan garam, mendaki bukit-bukit, atau sekedar menemukan tempat sunyi untuk bermeditasi. Rumah-rumah ala komunitas Hakka yang telah lapuk dengan pecahan kaca dan segala isinya, mampu menciptakan atmosfer kehidupan nenek moyang, sehingga pengunjung dapat merasakan bagaimana kehidupan nenek moyang di masa lalu.
Rosa Chan, pemandu tur dan generasi ke delapan pulau Yim Tin Tsai, mengatakan, ia senang karena pendulangan garam dibuat kembali. Ini mengingatkannya pada aktivitas yang dilakukan para penduduk Yim Tin Tsai dulu.
Rosa sendiri tinggal di Yim Tin Tsai hingga usianya 13 tahun, setelahnya ia beserta keluarga pindah ke Kowloon City untuk mengenyam pendidikan. Kini ia beserta keluarga pindah ke Inggris.
Sama halnya dengan mantan penduduk Yim Tin Tsai yang lain, Rosa dan keluarganya meninggalkan pulau tersebut untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Meski begitu, Rosa tetap merasa bahwa kehidupannya ada di Yim Tin Tsai. Di kota dan negara lain ia tidak dapat melakukan kegiatan seperti yang dilakukannya di Yim Tin Tsai.
Rosa mengaku ia memang menyukai aktivitas yang bersinggungan dengan alam. Ia suka memancing dan menangkap kepiting. Dan saat ini, ia rutin mengunjungi Yim Tin Tsai dua kali dalam seminggu untuk merawat kebun dan memandu tur para pengunjung.
Reporter: Intan Nadhira Safitri