Mudik Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Sudah dilarang, disekat, dijaga, namun warga +62 tetap saja nekat untuk balik kampung. Bagi mereka terutama perantau mudik adalah kewajiban setiap tahun. Tak lengkap rasanya saat merayakan hari kemenangan, tidak berkumpul bersama keluarga.

Tradisi ini dilakukan setiap tahun saat hari raya akan segera tiba.  Baru saat Pandemi Covid-19 melanda Indonesia tahun 2020, tradisi mudik sementara ditangguhkan. Mengutip Jurnal Dibalik Tradisi Mudik Lebaran: Studi Fenomenologi Atas Pengalaman Pemudik dalam Merayakan Idul Fitri di Kampung Halaman tulisan Muskinul Fuad (2011), mudik berasal dari kata “udik” yang artinya kampung, sedangkan mudik artinya pulang kampung.

Silverio Raden Likik Aji Sampurno, Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengatakan sulit sekali menghilangkan tradisi mudik dalam kultur budaya di Indonesia. Apalagi, tradisi ini sudah ada sejak zaman Majapahit.

Ia menjelaskan kekuasaan Majapahit yang luas hingga Sri Lanka dan Semenanjung Malaya membuat pimpinan Majapahit menempatkan beberapa pejabat di berbagai daerah untuk menjaga wilayah kekuasaan, Suatu waktu, pejabat-pejabat itu pulang untuk menghadap Raja dan mengunjungi kampung halaman. Hal ini yang katanya mendasari awal muasal kegiatan mudik itu tercetus.

Tradisi mudik menjadi tren diawali di tahun 1970 an. Mengutip situs resmi Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, tradisi mudik mulai muncul saat itu terutama dari pendatang dari Jakarta.

Saat itu banyak orang dari berbagai daerah yang mengadu nasib ke Jakarta untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Kebanyakan dari mereka bekerja di kantor pemerintah, swasta, dan pabrik. Ada juga yang bekerja sebagai pekerja informal di berbagai bidang usaha.

Menjelang hari raya, para perantau pun libur dan kembali ke kampung halamannya masing-masing untuk berkumpul bersama keluarga. Seiring berjalannya waktu, jumlah pemudik di Tanah Air semakin banyak.
Jurnalis senior, Alwi Shahab, dalam buku berjudul Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang (2006) juga mengangkat pengistilahan mudik dari sudut pandang perantau minang.
Ia menjelaskan, “Bagi orang minang, yang menurut perkiraan tahun 2000 jumlahnya di Jabodetabek paling tidak dua juta orang, sejak lama dikenal dengan istilah ‘pulang basomo.’”
Mudik memang bukan cuma perkara rindu. Sejak dalam sejarah, tradisi ini jadi simbol pengakuan sosial. Dahulu, mudik selalu dilakukan dengan berkonvoi. Dalam momen itu, para perantau bagai pahlawan.
Kendaraan-kendaraan para pemudik ditempeli stiker akan disambut di perbatasan provinsi oleh voorijder. “Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ‘Ayo ke rantau mengubah nasib,’ kira-kira begitu lah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan.”
Dalam sejarah, tahun 2016 adalah tahun mudik terparah. Kemacetan terjadi di pintu keluar tol Brebes atau sekarang dikenal dengan istilah ‘Brexit’. Ini  adalah kemacetan paling parah sepanjang sejarah mudik di Indonesia. Setidaknya kendaraan terjebak nyaris 48 jam untuk bisa keluar dari kemacetan.
Akibat kemacetan ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana merilis ada 12 korban tewas akibat terdampak kemacetan. Salah satunya adalah bayi berusia 1,4 tahun bernama Azizah asal Kutoarjo yang meninggal dengan penyebab apnoea causa CO2 toxic atau terpapar CO2 karena terjebak dalam mobil di tengah kemacetan lebih dari enam jam.

Reporter : Ananda Nuraini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Ketersediaan Pangan dan Harga Terjangkau Salah Satu Indikator Kesuksesan Libur Nataru

Jakarta – Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, mengatakan pihaknya telah memastikan ketersediaan pangan pokok strategis serta...
- Advertisement -

Baca berita yang ini