MATA INDONESIA, JAKARTA – Pemberantasan korupsi di Indonesia sepanjang 2020 semakin menguatkan teori bahwa kabinet sebaiknya tidak diisi orang-orang partai. Hal itu ditandai dengan penetapan dua menteri Kabinet Indonesia Maju, Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara sebagai tersangka kasus suap penanganan proyek kementerian.
Baik Juliari maupun Edhy Prabowo merupakan kader partai politik. Juliari politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Edhy Partai Gerindra.
Penunjukkan mereka sebagai anggota kabinet di Pemerintahan Jokowi juga bukan sembarangan karena rekomendasinya disebut pengamat politik Muhammad Qodari berasal dari ketua umum masing-masing yaitu Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan dan Prabowo Subianto dari Gerindra.
Hal itu diungkapkan Qodari dalam sebuah diskusi soal Outlook politik dan ekonomi Indonesia, Kamis 17 Desember 2020.
Kasus yang membelit keduanya tampaknya khas kasus-kasus yang pernah menjerat kader partai politik sebelumnya seperti Imam Nahrawi dari PKB maupun Idrus Marham dari Partai Golkar. Idrus terlibat kasus suap Proyek PLTU Riau saat menjadi Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, namun modusnya sama-sama meminta fee proyek alias minta disuap.
Imam misalnya dijadikan tersangka September 2019 terkait pemberian fee 19,13 persen dari dana hibah untuk KONI dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang sempat dipimpin Imam.
Dana itu senilai Rp 17,9 miliar dari anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga Tahun Anggaran 2014-2018. Artinya Imam bakal menerima Rp 3,4 miliar.
Praktik seperti itu ternyata juga dilakukan Edhy Prabowo dalam yang diduga terlibat suap ekspor benih lobster. KPK menetapkan Edhy bersama enam orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait dengan perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya Tahun 2020.
Hadiah yang diduga diperuntukan Edhy dan istrinya Iis Rosita Dewi mencapai Rp 3,4 miliar karena telah memberikan izin kepada PT Aero Citra Kargo untuk pengangkutan benih lobster untuk ekspor.
Sementara Juliari dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima fee dari setiap paket sembako yang disalurkan untuk warga terdampak pademi Covid19. Jumlahnya mencapai Rp 8,8 miliar.
Hal itu diperoleh Juliari karena telah menunjuk PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) untuk pengadaan bantuan sosial untuk korban pandemi Covid19.
Modus korupsi seperti itu sebenarnya sudah terjadi sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum berdiri 2003.
Pejabat publik baik itu di lingkungan legislatif, eksekutif maupun yudikatif berulangkali tertangkap tangan karena melakukan praktik korupsi yang sama. Menerima suap, menerima fee proyek dan hadiah-hadiah lainnya yang berkaitan dengan jabatannya.
Seorang analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto memiliki data bahwa lebih dari 60 persen kasus korupsi yang ditangani KPK berkaitan erat dengan perkara politik.
Data itu bukan sebuah sinyalemen yang diajukan Arif, melainkan angka yang pernah diungkap KPK dalam beberapa kesempatan.
Maka sekali lagi, sudah saatnya kepentingan politik dengan memosisikan politisi dalam pemerintahan dikurangi sebanyak mungkin kalau perlu dihilangkan karena memiliki kebiasaan yang sama minta fee atau hadiah dari proyek milik pejabat tersebut.