MATA INDONESIA, JAKARTA – Suntik mati sepertinya menjadi solusi dari berbagai metode eksekusi mati yang dinilai kejam. Namun, cara ini belakangan sering berjalan mulus karena beberapa terpidana tersiksa sebelum mati.
Charles Brooks Jr, seorang terpidana kasus pembunuhan berencana pada 1982 dieksekusi dengan cara disuntik mati. Ia mengalihkan pandangan dari kekasihnya setelah mengucapkan “Aku cinta kamu” hingga akhirnya mengembus napas terakhirnya.
Sebelum menggunakan metode suntik mati, cara eksekusi mati paling favorit di Amerika adalah menggunakan kursi listrik, cara yang sekrang dianggap sebagai penyiksaan. Pasalnya, kadang bola mata terpidana melompat keluar, pipinya meleleh, dan rambutnya terbakar.
Suntik mati dianggap sebagai metode paling baik dan maju. Tidak ada lagi darah yang menetes atau teriakan terpidana.
Salah satu saksi kematian Brooks mengatakan bahwa si lelaki hanya menguap, kemudian sedikit mengangkat perutnya sebelum dokter menyatakannya meninggal dunia. Namun, masalahnya adalah tidak ada satu orang yang tahu apa yang dialami terpidana sebelum ia wafat.
Pada 2005, setelah lebih dari seribu eksekusi mati menggunakan suntik dilakukan, sekelompok ilmuwan melakukan penelitian. Dipimpin Leonidas Koniaris, seorang dokter bedah asal Indianapolis. Mereka meneliti eksekusi mati di Texas dan Virginia. Mereka menemukan bahwa 44 persen terpidana, sebenarnya sadar menjelang kematiannya. Mereka juga sangat tersiksa.
Terpidana hanya tidak bisa berteriak karena cairan yang disuntikkan telah melumpuhkan otot-ototnya. Penelitian lebih jauh juga menemukan fakta bahwa obat yang seharusnya membuat jantung berhenti berdetak, ternyata tidak berfungsi.
“Hasilnya mengerikan, mereka akhirnya mati karena sesak napas. Alhasil , kita hanya beralih dari metode yang brutal secara visual ke metode yang tidak visual,” kata Leonidas Koniaris.
Meskipun mayoritas warga Amerika setuju dengan hukuman mati, tetapi tidak setuju bahwa hukuman mati harus menyiksa. Dengan temuan itu, sejumlah negara bagian malah bereksperimen mencoba berbagai zat baru untuk suntikan mati.
Hasilnya, ada terpidana yang mati setelah tersiksa selama dua jam dan megap-megap sebanyak 640 kali. Jelas bahwa metode ini sedang menghadapi krisis.
Adakah metode yang manusiawi?
Selama ribuan tahun, hukuman mati telah menjadi tontonan publik. Dari ditenggelamkan hinga menjadi santapan binatang, manusia tampaknya tidak pernah kehabisan akal memikirkan segala cara menghukum mati seseorang.
Pada zaman Persia kuno, terpidana diikat, ditelanjangi, dengan tubuh diolesi susu dan madu, lalu dibiarkan dimakan hidup-hidup oleh hewan. Sementara di India pada abad 14, gajah-gajah dilatih untuk menyayat-sayat tubuh terpidana menggunakan pisau yang dipasangkan pada gadingnya.
Dipancung Guilotin
Meskipun begitu, keinginan manusia untuk melakukan eksekusi mati yang lebih manusiawi telah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Dimulai pada 1789, ketika Guiotin diperkenalkan. Kala itu tengah terjadi Revolusi Perancis. Pejabat pemerintah dan kerajaan Perancis berderet-deret dihukum mati.
Joseph-Ignace Guilotin ditunjuk menjadi dokter yang diminta mencari cara untuk eksekusi mati yang lebih manusiawi. Dia pun memperkenalkan sebuah alat, sambil berpidato,
“Sekarang, dengan mesin ini, saya akan memancung kepala Anda dalam satu kedipan mata. Anda tidak akan merasakan apa-apa.” Alat itu dinamakan sesuai namanya, Guilotin.
Guilotin terdiri dari sebuah pisau besar dan sebuah papan kayu tempat kepala terpidana ditaruh. Kadang, alat ini juga dilengkapi keranjang, tempat menampung kepala. Cara ini diklaim cepat membunuh korbannya.
Uji coba menggunakan tikus di laboratorium menunjukkan kesadaran akan tetap ada selama 9 sampai 18 detik setelah tikus dipenggal. Hal yang sama juga terjadi pada hewan lain.
Digantung
Pemenggalan masih dipraktikkan hingga saat ini, khususnya di Arab Saudi saat 146 orang dipancung pada 2017. Namun, metode eksekusi yang paling banyak diterapkan saat ini adalah digantung. Ada dua cara dalam melakukan metode ini : digantung rendah atau digantung tinggi.
Dengan metode digantung rendah, terpidana dijatuhkan dari posisi yang tidak tinggi. Korban akan mati tercekik. Namun, mati tercekik sering dianggap sebagai cara mematikan yang sangat menyakitkan.
Metode digantung tinggi disebut sebagai cara yang manusiawi. Tali akan mematahkan tulang leher terpidana. Akibatnya tulang belakang juga akan retak, membuat tekanan darah langsung turung ke titik nol dalam waktu kurang dari satu detik.
Meskipun begitu, eksekusinya harus berhati-hati. Jika terlalu tinggi, kepala terpidana bisa putus. Jika terlalu rendah, terpidana akan tercekik lama sebelum akhirnya meninggal dunia.
“Dan sejauh pengalaman saya, meskipun ada kondisi ideal, kesalahan kerap terjadi,” kata Megan McCracken dari Klinik Hukuman Mati di Universitas California, Berkeley.
Ditembak di dada
Meskipun kerap dikaitkan dengan kejahatan perang dan militer, hukuman mati dengan ditembak masih dilaksanakan sebagai hukuman pengganti di Negara Bagian Utah, dan rutin dilakukan di Korea Utara. Biasanya pelaku kejahatan diikat di sebuah kursi dengan kepalanya ditutup kain.
Lalu lima penembak mengarahkan tembakan ke dada. Hanya satu penembak yang memiliki peluru.
Pada 1938, seorang lelaki 40 tahun, John Deering divonis bersalah melakukan pembunuhan berencana. Ia merelakan dirinya untuk obyek penelitian.
Dia duduk di alat pengukur detak jantung, elektrokardiogram, saat ditembak mati. Monitor yang mengamati detak jantung Deering menunjukkan berhenti setelah 15 detik ditembak.
Dalam studi 2015 pada tikus-tikus yang mengalami gagal jantung memperlihatkan bahwa menjelang kematiannya, aktivitas otak mereka meningkat dratis selama 30 detik. Ini menjelaskan mengapa orang yang nyaris mati merasa ‘sangat hidup’ jelang kematiannya.
Kursi listrik
Kursi listrik dulunya dianggap sebagai salah satu cara yang manusiawi dalam mengeksekusi mati. Namun, cara ini mulai kontroversi setelah munculnya laporan mengerikan terkait 34 eksekusi mati dengan kursi listrik di New York pada 1887.
Penggunaan cara ini bermula ketika seseorang dokter gigi, mendengar kisah tentang anak buah kapal yang tanpa sengaja memegang generator, tesetrum dan lalu langsung mati. Dia pun menyarankan agar eksekusi dilakukan dengan setruman karena pelaku kejahatan akan langsung mati. Namun, setelah beberapa kali dilakukan, metode ini penuh masalah.
Menghirup nitrogen
Cara ini mencuri perhatian setelah penayangan sebuah dokumenter BBC yang dibawakan mantan anggota DPR konservatif Inggris, Michael Portillo. Dalam program berjudul “Bagaiman Cara Membunuh Manusia”, dia menyebut nitrogen adalah cara paling sempurna untuk membunuh.
Apalagi, 78% udara pada dasarnya adalah nitrogen, sehingga gampang dihirup. Selain itu, studi 1960-an, terungkap bahwa orang yang menghirup nitrogen murni akan langsung kehilangan kesadaran dalam 17-20 detik. Pada uji coba menggunakan hewan, mereka akan langsung berhenti bernapas dalam tiga detik.
Dan berdasarkan riset, metode ini tidak menyakitkan karena tubuh tidak bisa mendeteksi kondisi kekurangan oksigen. Tubuh hanya mengenali kelebihan karbondioksida. Jadi, menggunakan nitrogen, terpidana tidak akan merasa seperti dicekik.
Bagaimana rasanya menghirup oksigen
Seorang pakar jantung dan pilot yang berbasis di Boston, John Levinson, punya pengalaman soal ini. Beberapa tahun lalu dia terbang di ketinggian 7 kilometer.
Lalu, ia melakukan hal yang berisiko : membuka maskernya dan terus bernapas, “Setelah 30 detik, saya merasa sangat aneh. Saya tidak berhalusinasi, kesakitan atau bingung. Rasanya Cuma aneh. Tidak seperti alkohol atau hal lain yang pernah saya coba,” ungkapnya.”
Tiga negara bagian di Amerika Serikat sudah mulai menerapkan cara ini, tapi apakah mengeksekusi mati dengan nitrogen adalah cara yang tepat?
Pakar hukuman mati, Robert Dunham, nitrogen sebenarnya tidak cepat membunuh. Anjing dan kucing sadar dan tahu dia akan mati saat menghirup nitrogen.
Sementara butuh tujuh menit sampai seekor babi mati karena keracunan nitrogen. Salah satu masalah utamanya adalah kerja sama dari terpidana mati, jika mereka menahan napas, atau hanya menghirup ujung-ujung saja, mereka akan mati semakin lama.
Menurut Dunham, cara yang paling ideal adalah terpidana harus dianatesi, dibuat pingsan terlebih dahulu. “Masalah utama dalam hukuman mati di Amerika adalah mereka tetap ingin membunuh terpidana, tapi ingin caranya manusiawi, tidak ingin terkesan brutal. Ini jelas berkontradiksi.”
“Saya pikir orang-orang perlu memahami bahwa hukuman mati itu sendiri tidak manusiawi.”
Reporter : Afif Ardiansyah