Dr. Tb. Djodi R. Antawidjaja, Dosen Universitas Al Azhar Indonesia
Undang-Undang Omnibus Law telah ditandatangani Presiden sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja setebal 1.187 halaman pada Senin, 2 November 2020.
Bagi banyak pihak produk hukum itu merupakan harapan yang positif untuk recovery negara ini dan memperkuat ekonomi secara sustainability tentu menyambutnya dengan gembira.
Tetapi kemudian muncul masalah baru, yaitu telah terjadi kesalahan ketik pada naskah undang-undang tersebut. Ada dua kesalahan ketik, yaitu pada Pasal 6 dan Pasal 197.
Andaikan kesalahan bersifat klerikal itu terjadi pada sebuah buku biasa yang telah selesai dicetak, bahkan telah terpajang di toko buku sekalipun, penerbitnya cukup merevisinya dengan menyelipkan secarik kertas di sela-sela halaman buku tersebut dengan 17 baris tulisan seperti berikut:
“Revisi
Pada halaman 6, tertulis:
Pasal 6
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi: dst.
Seharusnya tertulis:
Pasal 6
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi: dst.
Pada halaman 757, tertulis:
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.
Seharusnya tertulis:
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden.”
Persoalanpun selesai seketika. Itu bisa dilakukan pada buku cetakan apa saja, fiksi, nonfiksi, pelajaran sekolah, resep makanan, bahkan buku yang berisi undang-undang sekalipun.
Apakah hal yang sama juga bisa dilakukan pada sebuah Undang-Undang hasil perumusan antara parlemen dan pihak pemerintah? Produk hukum yang telah melalui proses persidangan berhari-hari dan disahkan melalui sidang paripurna DPR serta telah sah menjadi undang-undang karena ditandatangani Presiden.
Apalagi telah diunggah di situs resmi Sekretariat Negara dengan nama Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cita Kerja.
Pemerintah memang mengakui ada kesalahan pengetikan yang diklaim sebagai kekeliruan teknis administratif sehingga tak berpengaruh pada implementasi UU Cipta Kerja.
Memang dua kesalahan ketik yang terjadi cukup fatal. Pertama pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha yang tertulis “peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.”
Tetapi, rujukan ke Pasal 5 Ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Pasal 5 hanya berbunyi, “ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait. Seharusnya hal rujukan dimaksud adalah Pasal 4 huruf a, tanpa ayat.”
Kesalahan ketik kedua pada Pasal 175 Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja. Di angka 6 pasal itu mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014. Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sahnya keputusan pemerintahan.
Pada ayat (5), tertulis, “ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.”
Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4) bukan pada ayat (3) sebagaimana ditulis dalam UU Cipta Kerja.
Namun, reaksi ahli hukum beragam. Ada pendapat yang menyatakan salah satu pasal tidak dapat dilaksanakan maka akan menggugurkan keseluruhan undang-undang itu sendiri.
Ada pula yang menganjurkan segera melakukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar segera dibuatkan undang-undang perubahannya.
Salah Ketik Tak Pengaruhi Prosedur Pembentukan Undang-Undang
Memang kewenangan MK menguji undang-undang secara formil dan materiil. Tetapi, kesalahan pengetikan belum tentu menyalahi prosedur pembentukan undang-undang ataupun substansi UU itu sendiri.
Maka, perbaikan pengeketikan di Pasal 6 dan Pasal 175 angka 6 tidak akan mengubah substansi UU Cipta Kerja. Karena masalahnya hanya soal pengetikan yang menyangkut pasal rujukan.
Kesalahan pengetikan dalam UU Cipta Kerja terjadi akibat proses pembentukannya yang tergesa-gesa sehingga mengabaikan asas kecermatan. Namun, kesalahan pengetikan tersebut tidak membawa pengaruh pada norma yang diatur dalam UU tersebut.
Ada tiga alternatif mekanisme yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal itu, yakni executive review, legislative review, atau judicial review.
Mekanisme judicial review yang dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi (MK) akan menimbulkan kesangsian pengujian, bila hanya menguji materi “salah ketik.”
Berbeda halnya, jika proses pembentukan sebuah undang-undang didapati karena kesalahan prosedur, maka UU tersebut berpotensi dibatalkan MK.
Memang benar, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan mengatur asas kecermatan dalam pembentukan undang-undang. Namun, asas itu menyangkut rumusan suatu norma, bukan persoalan pengetikan.
Apalagi, salah ketik dalam UU Cipta Kerja ini tak substansial. Sehingga mempersoalkan salah ketik untuk menjadi dasar penafsiran asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan itu menjadi mustahil.
Sementara, opsi legislative review melalui amandemen UU baru akan dibahas setelah proses judicial review di MK selesai dan menyatakan terdapat pasal yang harus diubah secara substansial.
Sedangkan, perbaikan melalui executive review berarti memaksa presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang hanya mengoreksi pasal-pasal bermasalah.
Tetapi Perppu dikeluarkan harus berdasarkan “kegentingan yang memaksa,” sedangkan dalam kasus UU Cipta Kerja itu tidak terdapat hal dimaksud.
Sehingga untuk mengatasi persoalan sebatas salah ketik saja, maka perbaikannya tak perlu menempuh langkah-langkah tersebut.
Kesalahan pengetikan itu bisa diperbaiki dengan cara DPR dan pemerintah duduk bersama melakukan perbaikan sebagaimana telah dilakukan selama ini untuk mengatasi kesalahan manusiawi seperti typo, salah ketik, salah tulis, salah hitung, yang tidak mengubah substansi.
Itu melalui mekanisme Distribusi II yang selama ini digunakan dalam praktik teknis-administrasi penyebarluasan peraturan perundang-undangan, yaitu dengan mencabut undang-undang yang telah dipublikasikan dari Lembaran Negara di Kementerian Hukum dan HAM. Selanjutnya, undang-undang hasil perbaikan itu diterbitkan.
Tindakan itu tidak mengubah nomor undang-undang dan presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki.
Mekasnisme ini juga telah digunakan pada perbaikan UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan UU Nomor 49/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji di Lampung.
Selain itu, UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan. Begitu juga peraturan pemerintah (PP) yang diterbitkan di dalam Distribusi II yakni PP Nomor 35/2019 tentang Pemberian Gaji, Pensiun atau Tunjangan Ketiga Belas kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun atau Tunjangan.
Belajar dari kasus RUU Haluan Ideologi Pancasila, UU Cipta Kerja yang muatannya lebih besar dengan implikasi yang lebih luas, maka dibutuhkan soliditas, kesepakatan, semangat kebangsaan dan niat yang kuat dari pihak eksekutif dan legislatif untuk menuntaskannya sampai pada lahirnya berbagai PP dan Peraturan pelaksanaan lain untuk melengkapinya.
Kalau sesuatu sudah berjalan rutin dan lebih mudah, mengapa harus dipersulit?