MATA INDONESIA, JAKARTA – Ada yang menarik dari perjalanan jamaah haji dan perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Lewat artikel ini, penulis mencoba mengurasi suasana perjalanan haji di tahun 1946, 1947, 1948, dan 1949, atau tahun-tahun perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Sebab belum banyak sejarawan yang membahas periode perjalanan haji di Indonesia periode ini. Meski pun ada, mungkin hanya tulisan Ismail Hakki Goksoy, dari Sleyman Demirel University, Turki berjudul; Ducth policy towards Indonesian haj (1945-1949) — yang menarik dicermati.
Sejenak melihat ke belakang, selama lebih dua ratus tahun perjalanan haji dari Indonesia diamati sarjana-sarjana Belanda. C Snouck Hurgronje, J Eisenberger, D van der Meulen, dan J Vredenbregt, adalah sebagian dari banyak sarjana Belanda yang menulis perjalanan haji dari Indonesia era kolonial.
Khusus periode Revolusi Kemerdekaan, Vradenberg hanya menulis sedikit dalam The Hadj: Same of Features and Functions in Indonesia. Menggunakan sumber pemerintah Hindia-Belanda, memoir HH Dingemans perwakilan Hindia-Belanda di Mekkah arsip pemerintah Indonesia, dan lainnya, Hakki Goksoy mencoba memberi gambaran situasi politik yang mewarnai penyelenggaraan perjalanan haji era Revolusi Kemerdekaan.
Pemberontakan Mukimin
Sukarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Netherlands-Indische Civil Administration (NICA) pimpinan HJ van Mook, bersama tentara sekutu pimpinan Inggris, kembali ke Indonesia, September 1945. Menggunakan kekuatan militer, Belanda berusaha menegakkan kembali pemerintahan di tanah jajahan.
Tahun 1946, sebagai upaya membujuk masyarakat Indonesia, Van Mook menjalankan kebijakan pemberangkatan jamaah haji. Ia menunjuk Departemen Dalam Negeri, atau Binnenlandse Bestuur, sebagai pelaksana. Binnenlandse Bestuur bekerja sama dengan perusahaan pelayaran Rotterdamse Lloyd, Stomvaart Maatshappij Nederland, dan Stoomvaart Maatschappij Oceaan, popular dengan sebutan Kongsi Tiga, membawa jamaah haji dari Indonesia ke Arab Saudi.
Netherlands-Indische Civil Adminitration (NICA), yang berkuasa di Hindia-Belanda, menetapkan ongkos naik haji tahun 1946 antara 1.800 gulden sampai 2.100 gulden, atau 170 sampai 200 pound, tergantung lama tinggal di Mekkah.
Tahun pertama perjalanan haji di era Revolusi Kemerdekaan sangat tidak mudah. Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan Soekarno disambut gembira 3.000 pemukim Indonesia di Arab Saudi, atau mukimin. Pada 27 September 1945, sekitar 300 pemukim Indonesia di Mekkah menggelar pertemuan, dan menyatakan mendukung Republik Indonesia.
Mukimin, atau pemukim Indonesia di Arab Saudi, adalah pelajar yang tak kembali sejak 1942, atau setelah Jepang menduduki Hindia-Belanda. Mereka, rata-rata belum berusia 40 tahun, diberi bantuan keuangan pemerintah Belanda setiap bulan.
Beberapa bulan setelah proklamasi, mukimin membentuk komite aksi, yang bertransformasi menjadi organisasi Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Seluruh mukimin di Arab Saudi bergabung, dan mengabarkan kemerdekaan Indonesia ke jamaah haji dari berbagai negara yang datang ke Mekkah.
Pada musim haji November 1945, mereka menyebarkan pamphlet berbahasa Arab ke seluruh Mekkah. Pamflet dibuat di Mesir, dan dibawa pemimpin Pergerakan Kemerdekaan Indonesia di Kairo, ibu kota Mesir.
Pamflet berisi desakan agar negara-negara Arab mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Saat yang sama, Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia meminta ijin Amir Mansur, penguasa Hijaz, untuk berbicara kepada para peziarah dari berbagai negara. Permintaan itu ditolak. Arab Saudi melarang segala kegiatan politik saat penyelenggaraan haji.
Pemimpin Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia menggunakan cara lain, yaitu menggelar pertemuan kecil di Mina. Pertemuan dihadiri banyak orang dari berbagai negara. Tiga pemimpin berpidato, menjelaskan kemerdekaan Indonesia. Polisi Indonesia menangkap mereka, tapi membebaskannya beberapa jam kemudian.
Pemerintah Arab Saudi berusaha bersikap netral, tapi membiarkan pemukim Indonesia menjalankan aktivitasnya di Mekkah. Yunus Yasin, wakil Menlu Arab Saudi saat itu, berharap konflik Belanda-Indonesia diselesaikan secara damai.
Kementerian Luar Negeri Belanda merespon situasi ini dengan mengirim surat ke Konsul di Jeddah dan Kairo, yang isinya agar bantuan keuangan kepada mukimin hanya diberikan kepada mereka yang loyal ke pemerintah Hindia-Belanda.
Van Rechteren Limpung, konsul Belanda di Jeddah, menjalankan instruksi dengan menawarkan bantuan keuangan kepada komunitas Indonesia di Kairo. Orang Indonesia, kebanyakan pelajar Universitas Al Azhar, menolak. Komunitas keturunan Indonesia-Arab, pada 27 Februari 1946, mengeluarkan penyataan: “Kami lebih baik lapar daripada mengkhianati perjuangan Indonesia.
H. H. Dingemans, konsul Belanda di Jeddah, keberatan menjalankan instruksi Kemenlu Belanda. Menurutnya, jika itu dijalankan hanya akan menimbulkan kegaduhan di kalangan mukimin. Ia mengidentifikasi masih banyak orang Indonesia di Arab Saudi setia kepada Hindia-Belanda, tapi meminta mereka menandatangani surat kesetiaan hanya akan menimbulkan masalah.
Mukimin akan mencegah setiap orang Indonesia meneken kesetiaan kepada Hindia-Belanda. Jika kerusuhan terjadi, pemerintah Arab Saudi akan bertindak dan melemahkan posisi Belanda di Jeddah.
Pemerintah Belanda menerima argumen itu. Pada 9 Maret 1946, Belanda mengeluarkan pernyataan hanya akan memberi bantuan keuangan kepada orang Indonesia yang terdaftar di konsulat Jeddah dan Kairo.
Bulan berikutnya, pemerintah Belanda mencoba memulangkan paksa ratusan mukimin dengan alasan lebih mudah dikontrol jika mereka berada di Hindia-Belanda. Khusus untuk mukimin di Mekkah, pemerintah Hindia-Belanda mengumumkan pulang kampung gratis, tapi hanya sebagian kecil yang tertarik.
Lainnya, sebagian besar, menyebut ajakan pulang kampung itu sebagai repatriasi NICA. Mereka yang terbujuk diberi label NICA-mukimin.
Sampai November 1946, hanya sembilan mukimin yang pulang kampung. Mereka berasal dari Banjarmasin dan Pontianak. Lainnya, lebih suka menjauh dari yurisdiksi Hindia-Belanda, dengan 70 persen mengembalikan passport Hindia-Belanda ke konsul Belanda di Jeddah, menolak bantuan keuangan, dan membentuk Komite Pertolongan Indonesia (Kopindo) untuk mengatasi persoalan finansial para pemukim. Mereka mengorganisir pengumpulan dana, untuk mengatasi kesulitan mereka.