MATA INDONESIA, KUPANG – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Sawu yang dinakhodai oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (DJPRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah inkonstitusional atau Membangkang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91 Tahun 2021. Hal ini disampaikan untuk merespon undangan Focus Group Discussion (FGD) penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Sawu yang diselenggarakan pada Kamis, 10 Maret 2022 di Hotel Santika Mataram, NTB.
Melalui surat undangan bernomor B.647/DJPRL.2/III/2022 DJRPL KKP mengundang sejumlah pihak untuk membahas Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Sawu. Dasarnya, Pasal 19 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, perlu disusun Rencana Zonasi (RZ) Kawasan Antarwilayah.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin menyatakan penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Sawu tidak memiliki dasar hukum karena UU Cipta Kerja telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91 Tahun 2021 sebagai inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam waktu dua tahun.
“Lebih jauh, kebijakan ini bertentangan dengan poin 7 Putusan MK yang memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja,” tegas Parid.
Praktik Perampasan Ruang Laut di NTB
Sejalan dengan itu, Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTB, Amri Nuryadin menegaskan bahwa di Provinsi Nusa Tenggara Barat telah memiliki Peraturan Daerah Nusa Tenggara Barat nomor 12 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2017-2037. Namun masih jauh dari harapan untuk memberikan ruang sebesar-besarnya bagi rakyat. Sebaliknya, yang terjadi adalah maraknya investasi yang merampas ruang hidup dan ruang kelola rakyat, terlebih lagi sejak UU Cipta Kerja diterbitkan sehingga memberikan keleluasaan investasi yang tidak pro rakyat dan mendegradasi lingkungan hidup.
Pulau Lombok
Amri menambahkan penguasaan lahan, ruang hidup dan ruang kelola rakyat untuk berbagai proyek strategis nasional di pulau Lombok, terutama untuk pariwisata. Secara keseluruhan di pulau Lombok mencapai 16.279,30 Ha yang sebagian besarnya berada di kawasan pesisir, yaitu: Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Utara, dan Kabupaten Lombok Tengah.
“Secara khusus di Kabupaten Lombok Tengah, hampir seluruh pesisir laut pantai selatan adalah Wilayah Pariwisata. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK Mandalika) sendiri, menguasai lahan hingga 1.250 ha, mencakup sekitar 18,14 Km bibir pantai, dan menghilangkan ratusan hektar rawa dan hutan mangrove, serta hilangnya akses rakyat atas 8 (delapan) teluk menjadi wilayah privat yang sebelumnya adalah wilayah kelola rakyat, baik untuk aktivitas nelayan dan budidaya rumput laut,” tegas Amri.
Hilangnya ruang hidup dan ruang kelola rakyat, serta ancaman perusakan lingkungan hidup, juga terjadi di 3 (tiga) gili (Pulau Kecil) di kabupaten Lombok Utara, yaitu Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan.
Amri menyebut, PT. Tiara Cipta Nirwana (PT. TCN) adalah perusahaan pemegang kontrak kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) tentang investasi pengelolaan air bersih di tiga gili, sejak tahun 2017, dengan pengolahan menggunakan teknologi Sea Water Reserve Osmosis (SWRO) dengan sistem penyulingan air laut.
Saat ini, PT. TCN sedang dalam proses pembangunan fasilitas SWRO-nya di Gili Trawangan. PT. TCN membuat bangunan bawah tanah yang sangat besar, tepat di bibir/sempadan pantai utara gili trawangan sebagai tempat penampungan air laut dan pompa intake dilengkapi dengan 3 turbin besar. Tempat tersebut sebelumnya merupakan tempat penangkaran penyu, dan merupakan spot menyelam (diving) dan wilayah tangkap nelayan. Pembangunan fasilitas saat ini dan operasinya kedepan berpotensi meninggalkan dampak perusakan yang serius atas lingkungan dan air bersih akibat intrusi air laut.
Sedangkan Gili Meno, lanjut Amri, kerusakan lingkungan, khususnya di kawasan konservasi mangrove untuk pembangunan hotel oleh PT. BASK. Keberadaan Hotel PT. BASK memberikan ancaman kerusakan ekosistem mangrove yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan abrasi pantai dan ancaman resiko bencana lainnya di pesisir gili Meno.
Selain itu, kata Amri, ancaman kerusakan lingkungan dan ruang hidup serta ruang kelola rakyat (nelayan) juga disebabkan oleh maraknya investasi di wilayah pesisir, selain untuk pariwisata (pembangunan akomodasi, dan infrastruktur lainnya) juga disebabkan oleh pembangunan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan perlindungan sempadan pantai dan wilayah-wilayah konservasi laut, salah satunya investasi untuk tambak, seperti tambak udang di Labuan Lombok yang dibangun diatas lahan seluas 30 ha, yang wilayahnya telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur sebagai salah satu desa wisata.
Pulau Sumbawa
Amri juga menuturkan, ancaman perusakan lingkungan di Pulau Sumbawa, terutama disebabkan oleh operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar, di wilayah pesisir. Sejumlah pertambangan besar yang menguasai lahan skala luas wilayah pesisir di Pulau Sumbawa antara lain: 1). PT. AMNT di Kabupaten Sumbawa Barat, merupakan Tambang Emas yang sudah beroperasi puluhan tahun di atas lahan ribuan hektar. 2). PT. Sumbawa Timur Mining (PT. STM) di Hu’u Kabupaten Dompu, yang menjalankan operasinya di atas kawasan hutan yang juga merupakan wilayah pesisir. 3). Proyek Smelter di Kabupaten Sumbawa Barat yang digadang akan dibangun oleh dua perusahaan besar, yaitu: PT. China Nonferrous Meta Industri Foreign Engineering Construction Co., Ltd (NFI), dan PT. PIL Indonesia.
Praktik Perampasan Ruang Laut di NTT
Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengungkapkan bahwa proses FGD penyusunan Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Laut Sawu menegaskan posisi pemerintah yang memilih menentang keputusan MK dibandingkan melakukan upaya upaya evaluasi pada ketetapan zonasi yang dibuat sebelumnya.
“Sampai saat ini publik di NTT tidak mendapatkan informasi pengelolaan Kawasan Taman Nasional Perairan Laut Sawu. Baik informasi zonasi maupun evaluasi atas kerja kerja di Taman Nasional Laut Sawu,” ujarnya.
WALHI NTT justru mendapati makin kompleks dan berlarut larutnya persoalan di perairan laut Sawu. Beberapa kasus yang mencuat seperti pencemaran laut oleh PTTEP Australia akibat kebocoran ladang minyak Montara pada 2009, maraknya pencurian terumbu karang dan pengeboman ikan, industri pariwisata Labuan Bajo yang mengkapling kawasan laut, rencana reklamasi Balauring di Lembata dan Teluk Kupang, kecelakaan pelayaran hingga pelanggaran batas sempadan pantai.
“Kasus atau masalah masalah di atas sampai sekarang tidak ada upaya serius untuk diselesaikan. Yang terang justru makin maraknya ijin ijin pariwisata yang banyak merampas ruang ruang penghidupan nelayan dan berpotensi meningkatnya pencemaran laut oleh kegiatan pariwisata skala besar,” kata Umbu Wulang.
Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh dulu untuk pengelolaan Taman Nasional Laut Sawu, termasuk di dalamnya melakukan audit lingkungan dan evaluasi keadilan ruang penghidupan. “Proses evaluasi itu melibatkan semua komponen masyarakat yang bergantung atau memiliki ruang penghidupan di kawasan tersebut. Apalagi Taman Nasional berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Hal ini lebih urgen dan berdampak dibandingkan mengurus FGD Zonasi yang dilandaskan pada UU Cipta Kerja,” ujar Umbu Wulang.
Desakan Kepada Pemerintah
WALHI menegaskan, hal mendesak yang harus dilakukan oleh KKP bukanlah menyusun Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah, melainkan mengevaluasi Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah disahkan di 28 provinsi karena banyak memberikan dampak buruk. Setidaknya ada lima masalah genting yang dilahirkan oleh Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu:
Tidak menempatkan masyarakat pesisir (nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir) sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan, termasuk tidak dilibatkan sejak penyusunan Perda Zonasi.
Alokasi ruang hidup dan ruang tangkap masyarakat pesisir, khususnya nelayan sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan (baik pasir maupun migas), pariwisata, konservasi, dan sejumlah proyek lainnya.
Penyusunan Perda Zonasi lebih banyak mengakomodasi serta memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis, bukan masyarakat pesisir.
Dengan banyaknya mengakomodasi proyek tambang, Perda Zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan serta kesehatan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Mencampur-adukan kawasan tangkap nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini mempersempit kawasan tangkap sekaligus melanggengkan perampasan ruang laut.
“Pemerintah dituntut untuk memprioritaskan perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang akan tenggelam akibat krisis iklim dengan cara mengevaluasi dan mencabut berbagai konsesi proyek ekstraktif dan eksploitatif yang membebani pesisir dan pulau-pulau kecil,” kata Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Hadi Jatmiko.
WALHI mendesak pemerintah untuk tidak melanjutkan pembahasan sejumlah RZ Kawasan Antarwilayah lainnya sepanjang UU Cipta Kerja masih berstatus inkonstitusional bersyarat berdasarkan putusan MK No. 91 tahun 2021.
“WALHI juga mengajak semua Organisasi dan masyarakat sipil yang tinggal dan berada di Pesisir dan Pulau Pulau kecil di Indonesia untuk melakukan penolakan terhadap semua upaya pemerintah dalam membuat seluruh aturan atau kebijakan turunan dari Undang- Undang No 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja khususnya bagi pesisir dan laut Indonesia,” tegas Hadi Jatmiko.
Tak hanya itu, WALHI menyerukan kepada berbagai pihak untuk terlibat dalam upaya memulihkan Indonesia yang dimulai dari menyelamatkan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, memperkuat simpul-simpul perjuangan rakyat, mempertahankan setiap jengkal wilayah kelola rakyat dari segala bentuk perampasan, serta mengawal supremasi hukum dan konstitusi.