MATA INDONESIA, BRUSEL – Uni Eropa mengecam proposal komisi pemilihan (KPU) yang dibentuk oleh junta militer Myanmar untuk membubarkan partai pemimpin terguling Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang memenangkan pemilihan umum pada November 2020.
“Jika Komisi akan melanjutkan proposal ini, maka itu akan menunjukkan ketidakpedulian junta secara terang-terangan terhadap keinginan rakyat Myanmar dan untuk proses hukum yang seharusnya,” kata juru bicara Komisi Eksekutif Uni Eropa dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters, Minggu, 23 Mei 2021.
Pada Jumat (21/5), media mengutip ketua Komisi Pemilihan Umum (UEC) yang ditunjuk junta militer Myanmar, Thein Soe, mengatakan bahwa panel harus membubarkan NLD karena melakukan kecurangan dalam pemilihan November.
Tentara Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari, menggulingkan dan menahan pemimpin sipil terpilih, Aung San Suu Kyi, yang memimpin perjuangan tanpa kekerasan melawan kediktatoran dalam dua dekade terakhir pemerintahan militer Myanmar sejak 1962-2011.
Junta militer Myanmar membenarkan kudeta tersebut dengan menuduh NLD memperoleh kemenangan telak melalui suara yang dimanipulasi. Namun, komisi pemilihan pada saat itu menepis anggapan tersebut dan NLD mengatakan menang dengan adil.
Uni Eropa menggemakan posisi NLD, menggarisbawahi bahwa kemenangan tahun lalu telah dikonfirmasi oleh semua pengamat independen domestik dan internasional.
“Tidak ada penindasan atau proses hukum semu yang tidak berdasar yang dapat memberikan legitimasi pada pengambilalihan kekuasaan secara ilegal oleh junta,” sambungnya.
“Uni Eropa akan terus berupaya membatalkan keinginan rakyat Myanmar dan mengubah hasil pemilihan umum terakhir,” tuntasnya.
Sejak merebut kekuasaan dengan dalih adanya kecurangan pada pemilu November 2020, lebih dari 800 warga sipil tewas di tangan aparat keamanan Myanmar dan menahan ribuan orang, termasuk di dalamnya, influencer, selebriti, aktivis, hingga jurnalis. Hal ini berdasarkan laporan Kelompok Advokasi Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP).
Pertempuran juga terjadi antara pasukan keamanan dan kelompok gerilya etnis minoritas. Gejolak tersebut telah membuat khawatir tetangga Myanmar dan komunitas internasional, tetapi para pemimpin junta militer tidak menunjukkan tanda-tanda atau niat untuk berdamai dengan gerakan pro-demokrasi.
Sejak penangkapannya, peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi telah ditahan dan menghadapi banyak dakwaan yang diajukan di dua pengadilan, yang paling serius di bawah undang-undang rahasia resmi era kolonial, dengan ancaman hukuman 14 tahun penjara.