MINEWS.ID, YOGYAKARTA – Sultan selaku Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak ingin ada praktik diskriminasi lagi di wilayahnya.
Setelah kasus di Dusun Karet, Bantul Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan 7 instruksi untuk kepala daerah di provinsi itu.
Mereka yang melanggarnya akan mendapat banyak sanksi. Ada 7 instruksi yang tertuang pada surat Nomor 1/INSTR/2019 Tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial pada 4 April 2019.
“Gubernur punya kewenangan menegur dan memberikan sanksi bagi bupati/wali kota yang tak melakukan instruksi ini. Sanksinya banyak, ada aturannya,” kata Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Gatot Saptadi di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Jumat.
Menurut Gatot, peraturan Desa Karet yang melarang warga non-Muslim tinggal di daerah itu merupakan peraturan ilegal.
Pemerintah desa, menurut Gatot, semestinya bisa menjadi ujung tombak untuk mengendalikan hal tersebut.
Gatot menegaskan bahwa regulasi terendah di dalam penyelenggaraan pemerintahan hanya ada di level desa.
Sedangkan aturan yang dibuat oleh warga atau kelompok masyarakat di bawah atau di luar pemerintah desa tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat.
Dia menegaskan kearifan lokal jangan dijadikan senjata bahwa segala sesuatu bisa (dilakukan).
Adapun 7 poin instruksi yang dikeluarkan Gubernur DIY untuk bupati/wali kota se-DIY yakni:
Pertama, melakukan pembinaan dan pengawasan dalam rangka mewujudkan kebebasan beragama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan dan bertempat tinggal.
Kedua, melakukan upaya-upaya pencegahan praktik diskriminasi dan menjunjung tinggi sikap saling menghormati serta menjaga kerukunan hidup beragama dan aliran kepercayaan.
Ketiga, melakukan upaya-upaya pencegahan dengan merespon secara cepat dan tepat semua permasalahan di dalam masyarakat yang berpotensi menimbulkan intoleran dan/atau potensi konflik sosial, guna mencegah lebih dini tindak kekerasan.
Keempat, meningkatkan efektivitas pencegahan potensi intoleran dan/atau potensi konflik sosial, secara terpadu, sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing masing berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kelima, mengambil langkah-langkah cepat, tepat, tegas, dan proporsional berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menghormati nilai-nilai hak asasi manusia untuk menghentikan segala bentuk tindak kekerasan akibat intoleran dan/atau potensi konflik sosial.
Keenam, menyelesaikan berbagai permasalahan yang disebabkan oleh Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) dan politik yang timbul dalam masyarakat dengan menguraikan dan menuntaskan akar masalahnya.
Ketujuh, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Penanganan Konflik Sosial sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimgwa Yograkarta Nomor 107 Tahun 2015 Tentang Penanganan Konflik Sosial, kepada Organisasi Perangkat Daerah, Kepala Desa sampai dengan masyarakat di lingkungan Kabupaten/Kota.