Soal Pemberhentian Helmi Yahya, Menkominfo: Selesaikan di Internal!

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kisruh soal pemberhentian sementara Helmi Yahya dari jabatan Dirut TVRI memasuki babak baru.

Hal ini turut menjadi perhatian dari Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo). Menkominfo Johnny Plate mengatakan, saat ini pihaknya belum sampai tahap mediasi karena pihaknya masih berupaya mendengarkan pendapat antara kubu Direksi TVRI dan kubu dewan pengawas.

“Hari ini memang ada pertemuan. Tapi dilakukan secara terpisah. Alasannya karena kita mau mendengarkan pendapat dari kedua kubu secara terbuka dan itu atas kehendak saya,” ujarnya di komplek Kominfo, Jumat 6 Desember 2019.

Johnny lantas menyarankan agar persoalan ini alangkah baiknya diselesaikan secara internal terlebih dahulu. “Melibatkan ruang publik baik, tapi alangkah baiknya digunakan secara bijak dan cerdas,” katanya.

Sementara soal surat putusan pemberhentian sementara yang dikeluarkan oleh Dewan Pengawas, ia berkata, hal tersebut perlu berpijak pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 13 tahun 2005.

Adapun beberapa tahapan yang disinggung Johnny di antaranya, pertama-tama perlu ada surat pemberitahuan terlebih dahulu.
Kemudian, jajaran Direksi harus diberikan kesempatan selama 1 bulan untuk lakukan pembelaan diri.

“Helmy seharusnya punya batas untuk lakukan pembelaan diri hingga 4 Januari 2020,” ujarnya.

Kemudian, dewan pengawas akan diberi waktu 2 bulan untuk menelusuri hasil pembelaan dari dewan direksi.

“Setelah itu baru lakukan tindakan, apakah diberhentikan atau tidak?. Kira-kira paling lambat 4 Maret 2020,” katanya.

Maka kata Johnny, keputusan dari Dewan Pengawas belum sah sehingga Helmi Yahya masih tetap menjabat sebagai Dirut TVRI.

“Jadi meski sudah ada direktur pelaksana, namun putusan pemberhentian tersebut tidak saja karena tidak sesuai dengan PP No. 13 tahun 2005. Maka suratnya perlu diperbaiki agar tidak terjadi salah tafsir,” ujarnya.

Kata Johnny hal ini sebenarnya masalah lama dalam internal TVRI, namun yang baru berpuncak dan terkuak baru-baru ini.

Sebelumnya, anggota Ombudsman Republik Indonesia, La Ode Ida mengatakan ada dugaan jajaran direksi TVRI melakukan beberapa kebijakan tanpa ada persetujuan dewan pengawas. Hal ini memunculkan maladministrasi dalam tubuh lembaga penyiaran publik tersebut.

Temuan ini pertama kali diungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Dewan Pengawas LPP TVRI dan Direktur Utama TVRI, Helmy Yahya beserta jajarannya pada 20 Mei 2019 lalu. Hal itu disampaikan anggota Komisi I DPR RI periode 2014-2019 mulai dari Fraksi Gerindra Elnino M Husen, Fraksi PDI-Perjuangan Evita Nursanti dan Junico Siahaan, Fraksi Golkar Andi Rio, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lena Maryana, Fraksi Nasdem Supiadin Aries Saputra, Fraksi Hanura Timbul Manurung, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid.

Mereka semua menyampaikan penyesalan terkait adanya tunggakan honor pegawai Televisi Republik Indonesia (TVRI) mencapai Rp7,6 miliar di tahun 2018. Tunggakan honor pegawai TVRI bervariasi, antara tiga sampai enam bulan dan dicicil di tahun anggaran 2019.

Dewan Pengawas televisi plat merah itu mengaku sudah beberapa kali memberikan teguran terhadap direksi TVRI terkait tunggakan honor tersebut. Namun belum ada tindak lanjut dari jajaran direksi TVRI.

Sementara itu, Dirut TVRI Helmy Yahya mengaku selama ini memang selalu ada konflik antara Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Helmy menyebut tidak mendapat penjelasan yang jelas dari TVRI terkait keputusan SK pemberhentian dirinya.

“Surat Keputusan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2019 tanggal 4 Desember 2019 adalah cacat hukum dan tidak mendasar. Saya Helmy Yahya masih tetap menjadi Direktur Utama LPP TVRI yang sah periode 2017-2022,” kata Helmy kemarin.

“Dewas bertindak melampaui kewenangannya. Kami minta ditinjau, mereka keberatan. Sampai akhirnya saya dicarikan pasalnya dan diberhentikan sementara,” ujarnya lagi.

Berita Terbaru

Judi Daring Ancam Ekonomi Keluarga: Saatnya Literasi dan Kolaborasi Jadi Senjata

Oleh: Ratna Soemirat* Fenomena judi daring (online) kini menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitassosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi digital yang membawakemudahan hidup, muncul sisi gelap yang perlahan menggerogoti ketahanan keluarga dan moral generasi muda. Dengan hanya bermodalkan ponsel pintar dan akses internet, siapa pun kini bisaterjerumus dalam praktik perjudian digital yang masif, sistematis, dan sulit diawasi. Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, menilai bahwa judi daring memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan bentukperjudian konvensional. Menurutnya, sasaran utama dari perjudian daring justru kelompokmasyarakat yang secara ekonomi tergolong rentan. Dampaknya langsung terlihat pada polakonsumsi rumah tangga yang mulai bergeser secara drastis. Banyak keluarga yang awalnyamampu mengatur pengeluaran dengan baik, kini harus kehilangan kendali keuangan karenasebagian besar pendapatan mereka dialihkan untuk memasang taruhan. Satria menjelaskan, dalam beberapa kasus, bahkan dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnyadigunakan untuk kebutuhan pokok keluarga justru dihabiskan untuk berjudi. Hal ini, katanya, bukan lagi sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonominasional. Ia menegaskan, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk makan, biaya sekolahanak, atau keperluan kesehatan malah dipakai untuk berjudi, maka kerusakannya meluas hinggapada tingkat sosial yang lebih besar. Masalah ini juga diperparah dengan munculnya fenomena gali lubang tutup lubang melaluipinjaman online (pinjol). Banyak pelaku judi daring yang akhirnya terjebak utang karena tidakmampu menutup kerugian taruhan. Satria menilai bahwa bunga pinjol yang tinggi justrumemperparah keadaan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam lingkaran utang yang sulitdiakhiri. Dalam banyak kasus, kondisi ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, konflikkeluarga, hingga perceraian. Efek domino judi daring, katanya, sangat luas dan tidak hanyamerugikan pelakunya saja. Selain aspek ekonomi, Satria juga menyoroti persoalan perilaku konsumsi yang tidak rasional di kalangan masyarakat. Ia menilai bahwa budaya konsumtif yang tinggi membuat masyarakatlebih mudah tergoda dengan janji palsu “cepat kaya” yang ditawarkan oleh situs judi daring. Contohnya, jika seseorang rela mengeluarkan uang untuk rokok meski kebutuhan rumah tanggaterbengkalai, maka godaan berjudi dengan iming-iming hasil instan menjadi semakin kuat. Menurutnya, perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci utama untuk membentengi diri daribahaya ini. Lebih jauh, Satria menegaskan bahwa penanganan judi daring tidak cukup hanya denganpendekatan represif, seperti pemblokiran situs atau razia siber. Ia menilai langkah tersebutmemang penting, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah tanpa adanya peningkatanliterasi ekonomi dan kesadaran digital masyarakat. “Permintaan terhadap judi daring itu besar, sehingga selama ada permintaan, pasokan akan terus bermunculan,” ujarnya dalam wawancara. Pemerintah, katanya, harus berani menyentuh aspek edukasi publik dengan memperkuat literasidigital, keuangan, dan moral agar masyarakat memiliki ketahanan terhadap jebakan dunia maya. Upaya memperkuat literasi digital dan kesadaran publik kini mulai mendapat perhatian dariberbagai pihak, termasuk dunia akademik. Salah satu contoh nyata datang dari UniversitasLampung (Unila) melalui inovasi bertajuk Gambling Activity Tracing Engine (GATE...
- Advertisement -

Baca berita yang ini