MATA INDONESIA, JAKARTA – Beberapa pelaku teror dikenal sebagai sosok yang tertutup karena jarang bergaul dengan orang yang ada di lingkungan sekitarnya. Pengamat intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta menilai semakin tertutup maka ideologi radikalisme terus tumbuh dan tertanam kuat.
“Semakin kuat doktrinisasi dan semakin tertutup dengan dunia luar maka akan semakin kuat paham itu tertanam,” kata Stanislaus kepada Mata Indonesia News, Rabu 17 Februari 2021.
Fenomena pelaku teror yang cenderung tertutup kepada lingkungan sekitar sudah sering terjadi di Indonesia. Seperti misalnya penangkapan satu keluarga terduga teroris di Lamongan, Jawa Timur. Para tetangga sekitar menilai mereka jarang berinteraksi karena pintu rumahnya juga sering tertutup.
Contoh lainnya, yaitu salah satu terduga teroris di Kota Makassar, Sulawesi Selatan juga dikenal tertutup. Bahkan oknum tersebut sering menggelar kajian khusus untuk komunitasnya saja tanpa mengizinkan warga sekitar untuk ikut.
Sikap yang cenderung menutup diri inilah yang semakin membuat pelaku teror mudah terprovokasi oleh ideologi radikal. Alhasil intensitas komunikasi terus meningkat dengan kelompoknya sehingga membuat para oknum teroris sulit untuk lepas dari kelompoknya.
Mantan narapidana terorisme dan penulis buku ‘Internetistan Jihad Zaman Now’ Arif Budi Setyawan mengemukakan bahwa dengan keterikatan dengan kelompoknya membuat para napiter yang sudah menjalani tahanan bisa kembali terjerumus aktivitas teroris.
“Mereka tidak bisa lepas dari kelompoknya, ketika kelompoknya terlibat perencanaan aksi maka ia bisa ikut terlibat,” kata Arif.