Minews.id, Kota Kupang – Pengamat politik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Yonatan Hans Luter Lopo, menegaskan bahwa diskusi mengenai kenaikan dana partai politik (parpol) yang bersumber dari APBN seharusnya tidak hanya berpusat pada jumlah atau nominal uang. Menurutnya, isu utama adalah fungsi publik yang diemban oleh parpol serta reformasi kelembagaan internal yang harus dilakukan.
Dalam pernyataannya kepada Minews.id pada Rabu, 23 Juli 2025, Lopo menekankan bahwa parpol bukan sekadar peserta pemilu yang muncul setiap lima tahun.
“Aktivitas partai politik sepanjang tahun harus terlihat di tengah masyarakat,” ujarnya.
Lopo menekankan pentingnya parpol untuk menjalankan fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat di luar masa tahapan pemilu. Ia melihat bahwa selama ini banyak fungsi artikulasi dan agregasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab parpol justru diambil alih oleh organisasi non-pemerintah (NGO), aktivis masyarakat sipil, hingga gerakan mahasiswa. Padahal, isu-isu publik seperti keluhan tentang layanan PDAM atau jalan rusak seharusnya menjadi ranah parpol sebagai saluran aspirasi masyarakat.
“Masyarakat tidak pernah melihat partai politik sebagai saluran aspirasi kecuali menjelang Pemilu, dan itu hanya oleh orang-orang yang kemudian punya kepentingan untuk masuk ke parlemen,” kritik Lopo.
Ia mencontohkan negara-negara seperti India dan Argentina, di mana parpol memiliki peran aktif dalam mengurus persoalan publik selain menerima subsidi dari negara.
Mengenai kualitas kader dan kaitannya dengan pembiayaan, Lopo menyatakan perlu kajian lebih mendalam. Namun, ia secara kritis menyoroti tata kelola parpol yang menyerupai perseroan terbatas. Menurutnya, parpol sering dikelola layaknya perusahaan dengan komisaris utama, direksi, dan pemilik saham mayoritas, di mana publik tidak memiliki akses untuk mengetahui pendanaan internal.
“Ketika misalnya kita meneliti tentang itu, justru oleh mereka menganggap itu adalah urusan rumah tangga partai,” ungkapnya.
Lopo menilai, logika dasar yang menganggap parpol sebagai institusi privat layaknya perseroan terbatas perlu digugat. Hal ini, lanjutnya, menghambat kesamaan kesempatan bagi kader-kader berkualitas untuk hadir di parlemen, dan justru didominasi oleh mereka yang menguasai sumber pembiayaan parpol.
Ia mencontohkan bagaimana anggota keluarga donatur utama partai bisa dengan mudah menjadi calon legislatif atau kepala daerah, bahkan tanpa rekam jejak aktivitas partai yang jelas.
Lopo menekankan perlunya reformasi kelembagaan parpol yang harus “dibersihkan dari atas dan juga didorong dari bawah.” Poin paling krusial adalah demokratisasi di internal partai politik.
“Kalau partai politik dikelola seperti perseroan terbatas maka, tetap saja dana itu tidak akan punya dampak banyak. Sekalipun kita memberikan dana yang sangat besar kepada partai, tetap tidak punya konsekuensi apapun kalau model pengelolaannya seperti itu,” tegas akademisi Fisip Undana tersebut.
Ia menyimpulkan bahwa diskusi utama seharusnya berpusat pada reformasi partai politik. “Partai politik itu harus menjadi contoh paling dasar ketika masyarakat mau melihat praktik-praktik demokrasi,” kata Lopo.
Ia juga meminta agar parpol bisa memberikan bukti kepada masyarakat terkait pelaksanaan asas demokrasi. “Jangan sampai parpol yang menyerukan demokrasi justru tidak demokratis dalam pengelolaan internalnya. Ini adalah persoalan mendasar yang perlu diatasi,” pungkasnya. (Nino)
