MATA INDONESIA, JAKARTA – Ruang dialog yang menjadi tuntutan dari berbagai pihak sudah dilakukan oleh pemerintah melalui lahirnya Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua. Namun, hal ini tidak menutup kesempatan untuk terus membuka perundingan dan diskusi antara pemerintah dan beberapa pihak lainnya terutama masyarakat asli Papua.
Pengamat isu Papua dan dan Direktur Institute for Peace and Security Studies (IPSS) Sri Yunanto menegaskan bahwa pemerintah dinilai masih terus membuka ruang dialog namun tetap membatasi topik yang dibahas agar tidak keluar dari fokus utama yaitu mensejahterakan masyarakat.
“Ada batas-batas yang tidak bisa didialogkan, ada penguatan NKRI, pengamanan Pancasila, dan UUD 1945, jangan ada dialog yang beda, itu namanya merusak kontrak politik,” kata Sri Yunanto kepada Mata Indonesia News, Rabu 26 Mei 2021.
Hal ini sekaligus mematahkan peluang bagi pihak-pihak yang menginginkan referendum. Sri Yunanto mengingatkan kepada para oknum tersebut agar tidak menghalangi penerapan kebijakan Otsus terhadap Papua.
Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta ini juga menganjurkan agar pihak yang menginginkan referendum khususnya yang ada di luar negeri agar membuat partai politik (parpol) jika ingin menyalurkan aspirasinya. Mengingat, masyarakat Papua telah diberikan keistimewaan untuk membentuk parpol.
“Yang mau referendum, bikin parpol lah pulang sendiri, kalau kontrak politik tidak boleh dibatalkan sepihak, Otsus itu terus berlangsung,” kata Sri Yunanto.
Adapun hingga saat ini, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD terus melakukan dialog dengan tokoh-tokoh Papua termasuk tokoh agama yang dikenal memiliki peran penting.
“Kita ajak dialog dan bertukar pikiran dengan siapa saja termasuk dengan beberapa tokoh yang bisa membuka ruang perdamaian dan keamanan bagi masyarakat Papua,” kata Mahfud.