MATA INDONESIA, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sudah memiliki regulasi yang berkaitan dengan standard industri hijau (SIH). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) nomor 51/M-IND/PER/6/2015.
SIH merupakan acuan bagi pelaku industri dalam menyusun secara konsensus. Terkait dengan bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, pengelolaan limbah dan/atau aspek lain yang bertujuan untuk mewujudkan industri hijau. Yang jelas, permenperin itu merupakan bagian dari amanat UU nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian.
Pemerintah mengakui adopsi menuju industri hijau tidak mudah. Selain biayanya mahal. Bila tergesa-gesa juga memberikan implikasi lanjutan, yakni turunnya daya saing industri.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin Eko Cahyanto, mengatakan kementeriannya sangat berhati-hati merumuskan kebijakan. Untuk mendorong adaptasi industri hijau bagi manufaktur dalam negeri.
Menurutnya, implementasi menuju ke arah itu tentu tidak serta-merta mewajibkan. Tapi, juga harus diiringi dengan pemberian insentif. “Ini kan berkaitan dengan agenda global, masalah carbon tax. Kami masih mengkaji, menghitung. Kami masih harus melihat karakteristik industri kita. Saya dalam posisi yang tidak terburu-buru untuk itu,” kata Eko.
Kemenperin saat ini memiliki 28 standar industri hijau dan 44 perusahaan industri yang telah mendapatkan sertifikasi. Namun, sertifikasi tersebut masih bersifat suka rela dan belum mandatori atau wajib.
Setiap tahun, Kemenperin juga rutin menyelenggarakan penghargaan bagi perusahaan industri yang menerapkan standard industri hijau. Eko mengakui, meski bukan berupa insentif fiskal, sertifikasi dan penghargaan tersebut dapat menjadi keunggulan bagi perusahaan industri. Terutama untuk berekspansi ke pasar atau segmen konsumen yang menghendakinya.
Namun, Kemenperin mengakui, mereka kini terus melakukan pembahasan berkaitan insentif bagi perusahaan yang menerapkan standar industri hijau. Pemberian insentif fiskal berupa perpajakan nantinya akan menjadi prioritas.
Adapun, bentuk insentif nonfiskal yang telah berjalan antara lain,
- Pembangunan kapasitas dalam rangka mendorong pemangkasan output gas rumah kaca di industri
- Penyelenggaraan sertifikasi industri hijau secara gratis.
Kemenperin juga berencana memasukkan komoditas yang telah tersertifikasi hijau ke daftar belanja pemerintah.
Berdasarkan peta jalan industri hijau 2030, Kemenperin menargetkan 90 persen industri skala besar dan menengah sudah memiliki sertifikasi hijau pada 2030. Saat ini sudah ada 44 perusahaan industri yang telah memperoleh sertifikasi hijau.
Adapun, jumlah standar industri hijau yang dikeluarkan Kemenperin sebanyak 31 unit. Berdasarkan direktori industri manufaktur 2021 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perusahaan industri skala menengah dan besar mencapai sekitar 29.000 pada 2021. Artinya, capaian sertifikasi industri hijau sampai dengan tahun lalu baru mencapai 0,15 persen saja.
Kemenperin mengakui banyak tantangan untuk penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan di sektor industri. Salah satunya, yakni SIH yang masih terbatas pada 31 komoditas. Selain itu, butuh penyusunan SIH, penunjukan lembaga sertifikasi industri hijau yang baru untuk memperkuat sertifikasi.
Demikian pula penerapan SIH bagi industri kecil menengah (IKM). Kemenperin menargetkan bisa mencapai 50 persen pada 2030. Pasalnya, untuk bisa memenuhi standard yang layak. Banyak tantangannya. Seperti masalah teknologi dan proses produksi yang umumnya belum mutakhir.
Di luar sertifikasi, upaya lain untuk memacu penerapan prinsip keberlanjutan di sektor manufaktur, yakni penyelenggaraan penghargaan yang telah berlangsung sejak 2010.
Kemenperin juga memberikan penghargaan bagi perusahaan yang sudah melaksanakan sertifikasi. Yakni 70 persen proses produksi, 20 persen pengelolaan limbah dan emisi, dan 10 persen manajemen perusahaan.
Adapun, upaya pengurangan emisi gas rumah kaca fokus pada delapan sektor industri. Yang paling lahap energi, antara lain pupuk dan petrokimia, besi dan baja, kertas, semen, tekstil, keramik, minyak goreng, dan gula.