MATA INDONESIA, ISLAMABAD – Laporan Freedom Network mengungkapkan bahwa Pakistan masih menyandang predikat negara yang paling berbahaya di dunia untuk para jurnalis. Laporan yang dihimpun dari tahun 2000 hingga 2020 ini mencatatkan bahwa ada sekitar 140 jurnalis terbunuh di negara ini.
Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa jurnalis yang bekerja untuk media cetak dua kali lebih mungkin menjadi sasaran tindakan hukum ketimbang yang bekerja di media elektronik. Sementara untuk wilayah Sindh tiga kali lebih berisiko bagi jurnalis daripada provinsi atau wilayah lain.
Selanjutnya disebutkan bahwa lebih dari sepertiga jurnalis didakwa melakukan pelanggaran berdasarkan KUHP, sementara sepertiga lainnya dituduh melakukan terorisme. Bahkan beberapa lainnya diadili berdasarkan undang-undang kejahatan elektronik atau pencemaran nama baik.
Menurut Jurnalis dan pembela HAM untuk Dawn IA Rehman, tuduhan paling umum terhadap jurnalis adalah ‘bertindak melawan lembaga negara’ atau ‘mencemarkan nama baik lembaga negara’. Tuduhan lain dapat berupa kepemilikan senjata maupun bahan peledak secara ilegal, penggunaan narkoba, menyimpan literatur terlarang, atau melecehkan warga.
“Menurut laporan itu, dalam dua pertiga dari kasus di mana penyelidikan diselesaikan oleh polisi hanya setengah dari mereka yang dinyatakan layak untuk diadili,” katanya, dilansir dari laman ANI, Kamis 12 November 2020.
Tak hanya itu, ada 60 persen kasus dalam persidangan yang menggantung tanpa penyelesaian yang pasti. Hal ini membuat sebagian besar jurnalis tidak memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.
“Sebanyak 10 dari 17 kasus tidak pernah mencapai kesimpulan sehingga sebagian besar jurnalis yang bersangkutan tidak mendapatkan keadilan sama sekali,” ujar Rehman.
Ia juga mengungkapkan bahwa undang-undang lebih sering digunakan untuk menghambat dan melecehkan jurnalis agar mereka tak bisa menyampaikan berita yang sebenarnya kepada publik di sekitar mereka.
“Penemuan tahun lalu melaporkan ada 100 persen impunitas untuk para pembunuh dan nol persen keadilan untuk 33 jurnalis yang terbunuh,” katanya.
Selain itu, kantor media juga menghadapi krisis yang disebabkan oleh menyusutnya pendapatan mereka. Selain itu kantor media menghadapi diskriminasi dalam distribusi iklan yang dikendalikan negara, pembatasan yang melanggar hukum atas peredaran beberapa surat kabar di daerah tertentu, dan kampanye berbahaya lainnya terhadap para pembangkang atau kendaraan opini independen.
Mirisnya, lebih dari 15 ribu jurnalis dan pekerja pendukung telah menjadi pengangguran dan prosesnya semakin cepat selama beberapa pekan terakhir. Lebih banyak lagi jurnalis yang dipaksa untuk menerima pemotongan gaji parah sehingga menyebabkan penurunan tajam dan kemerosotan layanan dan gaya hidup mereka.