Nah Lo, Petinggi DPR RI Didakwa Terima Suap oleh Departemen Kehakiman AS

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Petinggi DPR RI dan mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) dinyatakan telah menerima suap yang diduga sebagai praktik pencucian uang pada proyek pembangkit listrik di Tarahan, Lampung.

Hal itu terungkap dalam tuntutan Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) terhadap dua warga negara Indonesia (WNI) dan satu warga negara Jepang terhadap dugaan penyuapan dan praktik pencucian uang, 18 Februari 2020.

Kedua WNI itu adalah Reza Moenaf, Mantan Presiden Alstom Indonesia; dan Eko Sulianto, Mantan Direktur Penjualan untuk Alstom Indonesia.

Sedangkan Warga Jepang yang dimaksud adalah Junji Kusunoki, Mantan Wakil Manajer Umum Departemen Proyek Energi Luar Negeri Marubeni Corporation.

Ketiganya didakwa terlibat konspirasi yang diatur Undang-Undang Praktik Korupsi Asing (FCPA) untuk melakukan pencucian uang.

Suap kepada petinggi DPR dan Dirut PLN tersebut menurut Departemen Kehakiman sebagai imbalan atas bantuan mengamankan kontrak senilai 118 juta dolar AS pada proyek PLTU Tarahan. Proyek itu memang sengaja diberikan kepada PT Alstom Indonesia dan Marubeni Jepang selaku partner konsorsiumnya.

Seperti dilansir Compliance Week, dalam surat dakwaan disebutkan Kusunoki di Marubeni bertanggung jawab mendapat kontrak dengan pelanggan baru dan mempertahankan kontrak dengan pelanggan yang sudah ada untuk keuntungan perusahaan Jepang tersebut di beberapa negara.

Tugas itu termasuk mendapatkan dan mempertahankan kontrak pada Proyek PLTU Tarahan dan Muara Tawar di Lampung Indonesia.

Hal yang sama dilakukan Moenaf dan Sulianto di Alstom Indonesia. Keduanya juga bertugas membantu kantor pusat mereka, Alstom Power Amerika Serikat untuk memperoleh proyek di Indonesia.

Alstom dan Marubeni sebelumnya pernah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi pembangunan PLTU di Muara Tawar.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Aspirasi 17+8 Jadi Momentum Perkuat Supremasi Sipil

Oleh: Sintari Suadnya )* Aspirasi 17+8 yang digulirkan mahasiswa dan masyarakat sipil menjadi salah satuperistiwa penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Tuntutan tersebutmerepresentasikan partisipasi publik untuk memperkuat transparansi dan supremasisipil sebagai prinsip utama kehidupan bernegara. Respon pemerintah, DPR, dan TNI yang terbuka menunjukkan bahwa negara bersedia menempatkan aspirasi rakyat sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat. TNI menjadi salah satu institusi yang langsung mendapat sorotan dalam 17+8. KepalaPusat Penerangan TNI, Brigjen Freddy Ardianzah, menegaskan bahwa TNI menghormati sepenuhnya tuntutan masyarakat. Ia menyampaikan bahwa militermenjunjung tinggi supremasi sipil dalam kerangka hukum dan demokrasi Indonesia. Freddy menekankan bahwa kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah akandilaksanakan TNI dengan penuh kehormatan. Pernyataan ini menunjukkan bahwareformasi di tubuh TNI masih berjalan konsisten, khususnya dalam menjaga pemisahanperan antara militer dan sipil. Tiga butir tuntutan yang diarahkan kepada TNI memperjelas harapan publik. Pertama, harapan publik agar TNI tetap fokus pada tugas pokok pertahanan negara. Kedua, penguatan disiplin internal agar prajurit tidak mengambil alih fungsi kepolisian. Ketiga, jaminan bahwa TNI tidak akan memasuki ruang sipil bahkan ketika negara menghadapikrisis demokrasi. Respons positif dari TNI memberi sinyal bahwa institusi ini siapberadaptasi dengan tuntutan zaman tanpa kehilangan kehormatannya sebagai penjagapertahanan negara. DPR juga bergerak cepat menanggapi aspirasi rakyat. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa lembaga legislatif telah memangkas sejumlah fasilitasdan tunjangan anggota dewan. Pemangkasan tersebut mencakup tunjanganperumahan, biaya listrik, jasa telepon, hingga tunjangan transportasi. Keputusan inidiambil dilakukan sebagai langkah proaktif DPR menjawab dinamika sosial ekonomimasyarakat. Dengan langkah itu, DPR menunjukkan kesediaannya untukmenyesuaikan diri dengan tuntutan publik serta memperbaiki citra di mata rakyat. Langkah DPR bukan hanya soal teknis penghematan anggaran, tetapi juga simbolbahwa wakil rakyat mendengar suara konstituennya. Dalam konteks demokrasi, kesediaan untuk menanggalkan privilese adalah wujud nyata penghormatan terhadapaspirasi rakyat. Dengan demikian, legitimasi DPR sebagai lembaga politik dapatdiperkuat kembali melalui kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan publik. Sementara itu, pemerintah pusat memastikan bahwa 17+8 tidak berhenti sebagaiaspirasi di jalanan....
- Advertisement -

Baca berita yang ini