MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Militer Myanmar menyangkal bahwa penggulingan pemerintah de facto adalah bentuk kudeta. Mereka mengatakan bahwa tindakan itu dibenarkan karena kecurangan dalam pemilu November tahun lalu tidak ditangani.
Panglima militer Myanmar, Min Aung Hlaing, sebelumnya telah menegaskan bahwa militer akan menggelar pemilu baru segera setelah menyelesaikan implementasi status darurat. Namun, hingga saat ini belum memberikan tanggal pasti untuk pemilihan baru.
“Tujuan kami adalah mengadakan pemilihan dan menyerahkan kekuasaan kepada partai pemenang,” kata Brigadir Jenderal Zaw Min Tun, juru bicara dewan yang berkuasa dalam konferensi pers pertama militer sejak merebut kekuasaan pada 1 Februari, melansir Reuters, 16 Februari 2021.
Usai kudeta militer yang terjadi pada 1 Februari 2021, ratusan ribu warga Myanmar turun ke jalan untuk mengecam kudeta militer, yang menggagalkan transisi tentatif Myanmar menuju demokrasi. Para demonstran juga mendesak militer untuk membebaskan sang peraih Nobel Perdamaian.
Kerusuhan telah menghidupkan kembali ingatan akan pecahnya pertentangan berdarah terhadap hampir setengah abad pemerintahan langsung militer, yang berakhir ketika militer memulai proses penarikan diri dari politik sipil tahun 2011.
Selain demonstrasi di seluruh negeri, para penguasa militer menghadapi pemogokan oleh pegawai pemerintah. Hal ini merupakan bagian dari gerakan pembangkangan sipil yang melumpuhkan banyak fungsi pemerintahan.
Di negara bagian utara Kachin, militer dikerahkan ke pembangkit listrik yang memicu konfrontasi dengan para demonstran. Beberapa demonstran meyakini, tentara bermaksud memutuskan aliran listrik.
Sementara di ibu kota negara bagian, Myitkyina, pasukan keamanan melepaskan tembakan guna membubarkan demonstran. Dalam rekaman siaran langsung di jejaring sosial Facebook menunjukkan, pasukan keamanan menggunakan peluru karet dan melepaskan tembakan langsung.
Pada Senin (15/2), lebih dari selusin truk polisi dengan empat kendaraan meriam air dikerahkan di dekat Pagoda Sule di pusat kota Yangon, yang telah menjadi salah satu lokasi protes utama di ibukota komersial, ketika sekelompok kecil pengunjuk rasa mulai berkumpul di luar bank sentral dan kedutaan Cina.