MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Lebih dari 125 ribu guru di sekolah Myanmar telah diskors oleh otoritas militer lantaran bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil untuk menentang kudeta militer, kata seorang pejabat Federasi Guru Myanmar.
Penangguhan telah terjadi beberapa hari sebelum dimulainya tahun ajaran baru, yang diboikot oleh beberapa guru dan orang tua sebagai bagian dari kampanye yang telah melumpuhkan negara itu sejak kudeta pada awal Februari.
Sebanyak 125.900 guru sekolah telah diskors hingga Sabtu (22/5), kata pejabat federasi guru, yang menolak menyebutkan namanya karena takut. Dia sudah ada dalam daftar buronan junta militer Myanmar dengan tuduhan menghasut ketidakpuasan. Sebagai catatan, Myanmar memiliki 430 ribu guru sekolah berdasarkan data tahun 2019.
“Ini hanya pernyataan untuk mengancam orang agar kembali bekerja. Jika mereka benar-benar memecat orang sebanyak ini, seluruh sistem akan berhenti,” kata pejabat yang juga merupakan seorang guru, melansir Reuters, Minggu, 23 Mei 2021.
Ia menambahkan, ia telah diberitahu bahwa tuduhan yang ia hadapi akan dibatalkan apabila ia tidak turut dalam gerakan pembangkangan sipil yang memprotes pemerintahan junta militer Myanmar.
Surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah junta militer meminta para guru dan siswa untuk kembali ke sekolah untuk memulai kembali sistem pendidikan.
Pada 10 Mei lebih dari 11 ribu akademisi dan staf universitas diskors usai melakukan pemogokan sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan junta militer Myanmar. Hal ini diungkapkan oleh sebuah kelompok guru.
Penangguhan itu terjadi ketika dimulainya kembali universitas setelah satu tahun ditutup karena pandemi virus corona yang mendorong konfrontasi baru antara tentara dan staf serta mahasiswa yang menyerukan aksi boikot atas kudeta 1 Februari.
Seorang profesor Myanmar di sebuah fellowship di Amerika Serikat (AS) mengungkapkan bahwa dia diimbau untuk menentang pemogokan atau kehilangan pekerjaannya. Otoritas universitasnya telah memberi tahu dia bahwa setiap sarjana akan dilacak dan dipaksa untuk memilih, katanya kepada Reuters.
Kelompok Advokasi Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) melaporkan lebih dari 800 warga sipil tewas di tangan militer Myanmar, termasuk di dalamnya para pelajar. Sementara ribuan warga lainnya ditahan.