MATA INDONESIA, JAKARTA – Baru-baru ini, sebuah wedding organizer (WO) bernama Aisha Weddings ramai diperbincangkan publik lantaran mengampanyekan pernikahan usia dini secara terang-terangan.
Pada bagian ‘Kaum Muda’ dalam situsnya yang kini sudah tidak terlacak, terdapat pernyataan untuk kaum perempuan dengan menyebutkan anjuran menikah ‘agar berkenan di mata Allah’ di usia 12 hingga 21 tahun dan tidak lebih. Tidak hanya itu, Aisha Weddings juga mempromosikan pernikahan siri dan poligami.
Dalam promosi tertulisnya, bagi para orang tua yang tertarik menikahkan anak perempuan mereka, dapat menghubungi Aisha Weddings dengan menyertakan foto dan biodata anak perempuan yang ingin dicarikan suami.
Kampanye jasa pernikahan yang tidak sepatutnya itu sontak menuai kecaman publik karena dianggap mengindikasikan human trafficking dan pedofilia.
Hal tersebut juga jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Sebelumnya, batas usia pernikahan bagi perempuan hanya 16 tahun. Namun, setelah direvisi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perempuan yang diperbolehkan menikah minimal berusia 19 tahun, sama seperti laki-laki.
Sebelum dihapus, Aisha Weddings sempat membuat sebuah unggahan pembelaan di laman Facebook yang menyebut bahwa jasa mereka dapat memfasilitasi beberapa keluarga yang tidak punya uang untuk anaknya agar segera menikah daripada mati kelaparan. Bahkan, menurut mereka, nantinya anak tersebut dapat dianggap berbakti karena menolong orang tua dengan melepas tanggungan.
Lebih lanjut, saat berita mengenai Aisha Weddings mencuat, pihak WO sempat membagikan pendapat bahwa publik tidak perlu menilai terlalu jauh karena sebuah pernikahan menjadi pilihan beberapa orang tua bagi anaknya. Alasannya, tidak ada masalah jika orang tua dan KUA bersedia mengeluarkan dispensasi nikah bagi anak.
Sementara itu, Pendiri Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi menyatakan kejanggalan terkait kasus Aisha Weddings. Melalui akun Twitter @ismailfahmi, dia membagikan beberapa pendapatnya.
Pertama, Aisha Weddings sebagai WO resmi yang tidak jelas keberadaannya baik secara online maupun offline. Ismail membeberkan bahwa situs Aisha Weddings, yakni aishaweddings.com telah muncul pada tahun 2018, yang sebelumnya bernama aishaevents.com. Situs itu kemudian mengunggah konten baru pada tanggal 9 dan 10 Februari 2021, setelah absen sejak tahun 2018.
Kemudian, Ismail menilai Aisha Weddings terlalu dini membuat peluncuran, dengan konten yang terdapat pada situsnya belum lengkap dan isinya provokatif, tampak seperti baru dibuat namun keburu ketahuan.
Ismail juga berpendapat bahwa disinformasi yang meresahkan dari Aisha Weddings itu serius dibuat. Hal tersebut terlihat dari spanduk yang disebar di beberapa titik. Selain itu, banyak pihak sudah menyatakan keberatan atas iklan nikah muda, poligami, penyimpangan pemahaman agama dan UU yang dibuat oleh Aisha Weddings.
Menurutnya, jika tujuannya untuk membangun keresahan, misi itu cukup berhasil, karena narasinya berhasil menarik komentar dari berbagai organisasi besar, dan juga diliput berbagai media dan televisi.
Namun, Ismail mengimbau masyarakat untuk tidak melanjutkan perbincangan mengenai Aisha Weddings. Sebab, menurutnya masih tidak jelas siapa yang membuat Aisha Weddings dan tujuannya agaknya bukan sungguh-sungguh sebagai iklan jasa pernikahan profesional.
Terlepas dari itu, fenomena pernikahan anak memang menjadi masalah tersendiri selama ini. Seperti diketahui, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) RI memang secara intensif gencar melakukan kampanye Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak hingga ke tingkat desa.
Hal itu sebagai tanggapan terhadap lima isu prioritas arahan Presiden Joko Widodo kepada Kemen PPPA terkait penurunan angka pernikahan anak.
Sejauh ini, advokasi dan sosialisasi pencegahan pernikahan anak terus dilakukan pemerintah bersama seluruh stakeholders, mengingat pernikahan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak. Namun, di masyarakat masih terdapat kelompok tertentu yang secara masif mengajak anak-anak untuk tidak takut menikah di usia muda, seperti promosi yang dilakukan Aisha Weddings melalui media sosial dan brosur.
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga menuturkan, promosi untuk menikah di usia muda yang dilakukan Aisha Weddings bukan saja membuat geram Kemen PPPA dan semua LSM yang aktif bergerak di isu perlindungan anak, namun juga meresahkan masyarakat luas.
Jasa pernikahan seperti Aisha Weddings dikhawatirkan dapat mempengaruhi pola pikir anak muda, dengan menganggap bahwa menikah itu mudah. Padahal, pernikahan di Indonesia sudah memiliki dasar hukum yang jelas. Selain itu, promosi yang dilakukan Aisha Weddings telah melanggar dan mengabaikan pemerintah dalam melindungi dan mencegah anak menjadi korban kekerasan serta eksploitasi seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 17 Tahun 2016.
Aisha Weddings dinilai telah mengurangi upaya pemerintah dalam usaha menurunkan angka pernikahan anak yang dampaknya bukan saja merugikan sang anak, tapi juga keluarga dan negara.
Lebih lanjut, dalam upaya perlindungan anak ini, Kemen PPPA bersama pemerintah, mengimbau pihak swasta, media, masyarakat, keluarga dan anak itu sendiri untuk berkomitmen mewujudkan penurunan angka pernikahan anak.
Terlebih lagi, dalam berbagai kajian dan penelitian menyebutkan, ada banyak dampak yang terjadi jika seorang anak menjalani pernikahan dini. Mulai dari ketidaksiapan mental, ketidaksiapan alat reproduksi, dampak ekonomi keluarga anak yang sulit mengakses pekerjaan formal karena anak tidak menamatkan pendidikan, hingga beberapa kasus melanjutkan kemiskinan keluarga sebelumnya.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo juga menyebutkan, pernikahan di usia muda berpotensi menimbulkan masalah sosial mulai dari kondisi ekonomi hingga ketidakharmonisan keluarga.
Menurutnya, pasangan berusia muda cenderung belum siap menjalani kehidupan berkeluarga. Hal itu bisa terlihat dari banyaknya kasus perceraian dan pertengkaran yang menimpa kelompok usia 20 hingga 24 tahun dengan usia pernikahan kurang dari lima tahun.
Kesiapan psikologis dalam memasuki kehidupan pernikahan memang sangat dibutuhkan agar pasangan siap dan mampu menghadapi berbagai masalah yang timbul dengan cara yang bijak. Hasto menjelaskan, kesiapan psikologis merupakan kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai suami atau istri yang meliputi pengetahuan tentang tugas masing-masing dalam berumah tangga, serta kesiapan mental, perilaku, perasaan, pikiran dan sikap.
Reporter: Safira Ginanisa