MATA INDONESIA, BAGHDAD – Partai Ulama Syiah Irak pimpinan Moqtada al-Sadr memenangkan sebagian besar kursi dalam pemilihan parlemen 2021 yang dilangsungkan pada awal pekan ini.
Berdasarkan perolehan suara, blok Sadr memenangkan 73 kursi di parlemen, diikuti oleh blok Taqaddoum pimpinan Mohamed al-Halbousi dengan 38 kursi, menurut hasil yang dikutip oleh kantor berita resmi Irak.
Sementara Partai Negara Hukum yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri, Nouri al-Maliki berada di urutan ketiga dengan 37 kursi.
Kemenangan ini membuat partai pimpinan Moqtada al-Sadr berhak untuk membentuk pemerintahan di Irak. Ia juga telah mengirim pesan jaminan ke Kedutaan Besar AS di ibu kota Baghdad –yang telah menjadi serangan roket berulang kali selama beberapa bulan.
“Semua kedutaan diterima kecuali mereka ikut campur dalam urusan Irak dan pembentukan pemerintah,” kata Moqtada al-Sadr, melansir Anadolu Agency, Selasa, 12 Oktober 2021.
Sebagaimana diketahui, Washington menganggap faksi-faksi bersenjata Syiah yang dekat dengan Iran bertanggung jawab atas berbagai serangan roket.
Sadr memperingatkan bahwa intervensi apa pun akan memiliki respons diplomatik terhadapnya, dan mungkin yang populer. “Irak hanya untuk rakyat Irak, dan kami tidak akan mengizinkan intervensi sama sekali,” ucapnya.
Dia menekankan bahwa senjata harus dibatasi di tangan negara dan penggunaan senjata di luar lingkup ini dilarang. Sudah waktunya bagi rakyat untuk hidup damai, tanpa pendudukan atau terorisme.
Sementara itu, Partai Demokrat Kurdistan, yang dipimpin oleh Masoud Barzani, menduduki puncak perolehan suara di wilayah utara Kurdi. Hasil akhir diharapkan akan diumumkan dalam dua pekan. Koalisi kemungkinan akan terbentuk karena pemerintah membutuhkan dukungan setidaknya 165 deputi.
Pemilihan hari Minggu melihat 3.249 kandidat yang mewakili 21 koalisi dan 109 partai bersaing untuk mendapatkan kursi di majelis. Jajak pendapat melihat jumlah pemilih yang rendah hanya 41%, menurut komisi pemilihan.
Pemilihan awalnya dijadwalkan pada 2022, tetapi partai politik memutuskan untuk mengadakan pemilihan awal menyusul protes massal yang meletus pada 2019 terhadap korupsi yang mengakar dan tata kelola yang buruk.
Pemungutan suara tersebut adalah yang kelima di Irak sejak 2003 atau ketika invasi pimpinan Amerika Serikat menggulingkan rezim mantan Presiden Saddam Hussein.