Labuan Bajo dalam Pusaran Monopoli Bisnis dan Represif Aparat

Baca Juga

MATA INDONESIA, KUPANG – Kenaikan harga tiket masuk Taman Nasional Komodo (TNK) dan tindakan represif aparat kepolisian terhadap aktivis yang berdemo di Labuan Bajo belum lama ini masih menjadi sorotan serius dari kalangan aktivis dan penggiat sosial Kota Kupang. Dalam diskusi publik yang berjudul “Labuan Bajo: Tarif TNK dan Represif Aparat” yang digelar secara daring ini, persoalan tersebut dikupas satu per satu.

Ketua KNPI Manggarai Barat Sergius Tri Deddy yang menjadi salah satu pembicara turut menyoroti penunjukkan PD Flobamor sebagai pengelola jasa wisata di TNK.

“Mana mungkin perusahaan yang bermasalah ini dipilih untuk mengelola kawasan wisata super premium di Labuan Bajo,” ujarnya dalam diskusi yang digelar pada Jumat 5 Agustus 2022.

Sementara Deputi WALHI NTT Yuvensius Nonnga mengatakan bahwa ada beberapa kebijakan pemerintah terkait perubahan zonasi dalam TNK. Hal tersebut justru merubah beberapa zona yang seharusnya menjadi zona lindung atau zona inti di dalam TNK menjadi zona pemanfaatan sehingga jadi ruang privatisasi yang dikelola oleh 3 perusahaan yang beroperasi di sana. Tiga perusahaan tersebut adalah PT. Segara Komodo Lestari (SKL), PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), PT Synergindo Niagatama.

“Dua perusahaan seperti PT SKL dan PT KWE ini tengah dievaluasi. Yang ada di balik KWE adalah Keluarga Setyo Novanto, SKL di belakangnya ada David Makes (Ketua Percepatan Pembangunan Ekowisata Kemenparekraf),” katanya.

Ia juga menyoroti tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian beberapa waktu lalu. Menurutnya, tindakan ini merujuk pada peraturan Kapolri no.12 tahun 2012 tentang pengamanan pariwisata. Sehingga segala bentuk aksi unjuk rasa yang dilakukan itu dinilai oleh aparat kepolisian sebagai tindakan mengganggu keamanan bagi para wisatawan atau orang yang berkunjung ke Pulau Komodo. Dan ini menjadi dasar bagi polisi untuk melakukan transaksi tindakan sewenang-wenang di lapangan.

“Unjuk rasa tidak dianggap sebagai salah satu ekspresi warga negara untuk menyampaikan pendapat di ruang publik tapi dianggap sebagai gangguan. Maka hal ini perlu kita dorong direview sehingga tidak menjadi salah satu dasar legitimasi oknum-oknum Polri di lapangan untuk melakukan tindakan kekerasan,” ujarnya.

Selanjutnya Ardi Milik dari Aliansi Rakyat Menggugat mencoba membeberkan sejumlah prilaku represif aparat kepolisian di NTT. Menurutnya, dalam 5 tahun terakhir sebanyak 98 orang menjadi korban kekerasan dari aparat kepolisian.

“Dari 98 korban itu, 1 orang di antaranya tewas, 4 orang dikriminalisasi, 2 orang ditahan dengan alasan yang tidak jelas, 1 orang tertembak di bagian lutut kanan, 83 orang ditahan dan mengalami perlakuan kekerasan, dan 7 orang di antaranya mendapat luka ringan,” katanya.

Sementara Wasekjen PB PMII Pusat Bidanh Politik Hukum dan HAM Hasnu Ibrahim mengatakan bahwa ada beberapa kekuatan yang berperan dalam ekosistem pariwisata di Labuan Bajo yaitu pemerintah, pasar dan partai politik.

“Hal ini membentuk kartel oligarki dan rakyat tersingkir dari lingkaran itu. Padahal tujuan dari negara ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan kenaikan tarif masuk Taman Nasional Komodo menjadi Rp 3,7 juta menjadi bukti bahwa telah terjadi praktik oligarki dan monopoli dalam desain Labuan Bajo,” ujarnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini