Kurikulum Pendidikan di Masa New Normal, Ini yang Perlu Disesuaikan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Pandemi corona (covid-19) ikut berpengaruh bagi sektor pendidikan. Baik dari sisi pembelajaran maupun manajemen pendidikannya sendiri.

Tantangan pun hadir saat pemerintah akan memberlakukan new normal. Otomatis, sistem pembelajaran via daring maupun kurikulum pendidikan perlu mengalami penyesuaian.

Senada dikatakan pengajar Politeknik Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Melchior Bria. Menurut dia, bahwa dasar dari seluruh proses pembelajaran adalah kurikulum, maka perlu mengalami penyesuaian di masa new normal corona.

“Desain kurikulum ini kan pada dasarnya dilakukan sebelum adanya (pandemi) dan mungkin sebagian besar kurikulum tidak didasarkan pada bahwa akan situasi pandemi atau akan ada situasi emergency (darurat)” ujarnya dalam diskusi virtual serial Wahidin54 bertemakan “Kapan ke Jogja Lagi: Internet dan tantangan pendidikan di tengah pandemi”, Sabtu 23 Mei 2020.

Melchior menambahkan kondisi pandemi membuat kondisi berubah dan pembelajaran berbasis internet menjadi tuntutan mutlak. Meski demikian, capaian pembelajaran via daring harus tetap menghasilkan knowledge (Pengetahuan), skill (Keterampilan) dan attitude (Karakter).

“Untuk itu maka disini perlu kreativitas terutama dosen atau guru, dibutuhkan kreativitas yang tinggi dalam menyajikan materi pembelajaran” katanya.

Terkait akses internet, ia pun mengungkapkan bahwa akses internet di NTT, terutama di Pulau Timor sudah cukup luas. Hanya daya beli untuk mendapat akses itu menurutnya masih jadi tanda tanya.

Saat ini menurutnya pihaknya sudah membagikan akses pulsa senilai Rp 100.000 ke mahasiswa dan dosen. Hanya hal ini menurutnya masih perlu dilihat apakah memadai atau tidak.

“Proses pembelajaran secara daring masih harus dilihat efektivitasnya dalam menghasilkan output yang optimal,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Ferdinandus Setu mengatakan, internet hanya salah satu sarana di tengah keterbatasan. Yang lebih penting adalah cara pendidik menyampaikan bahan ajarnya.

Namun ia sepakat bahwa kurikulum pendidikan saat ini tidak dirancang untuk kondisi khusus seperti dalam masa pandemi. Hal ini yang menimbulkan kegagapan dan ketidaksiapan baik dari sisi pendidik, peserta didik maupun orang tua.

“Acapkali pendidikan hanya diselenggarakan dengan capaian kuantitatif pembelajaran semata, bukan kualitas,” katanya.

Ferdinandus pun mengusulkan agar ada revisi kurikulum yang lebih sesuai dengan kondisi new normal. Lalu terkait kendala internet, pihaknya pun jujur mengakui masih memiliki pekerjaan rumah untuk menjangkau 36 persen masyarakat Indonesia yang belum menjadi pengguna internet.

“Jujur covid ini membuat beban kami lebih besar karena di satu sisi ada pemotongan anggaran yang signifikan di Kementerian Kominfo, hampir Rp 600 miliar. Padahal angka APBN di Kementerian Kominfo tidak lebih dari Rp 4 triliun setiap tahun” ujarnya.

Pihaknya mengaku akan terus bekerja keras meningkatkan kualitas infrastruktur dan jaringan internet yang merata ke seluruh wilayah Indonesia.

Thomas Sembiring sebagai pegiat Wahidin54 atau penyelenggara acara juga mengatakan, setelah Kementerian Kesehatan, Kementerian Kominfo juga menjadi garda depan lembaga negara dalam menjaga dampak pandemi ke berbagai sektor.

“Tak hanya ke urusan pendidikan, tapi juga penyaluran bantuan sosial yang berantakan belakangan ini, juga ada imbas dari ketidaksiapan infrastruktur telekomunikasi di daerah” katanya.

Ia pun menyarankan pemerintah agar mengalihkan dana Kartu Prakerja untuk kepentingan pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan sektor lain yang mendesak membutuhkan dukungan pemerintah.

“Anggaran puluhan triliun untuk Kartu Pra Kerja lebih penting dialokasikan untuk jaring pengaman sosial keluarga serta perluasan jaringan internet untuk dunia pendidikan” ujarnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Hilirisasi Buka Lapangan Pekerjaan dan Arah Ekonomi

Oleh: Winna Nartya *) Dalam perdebatan publik, hilirisasi kerap direduksi menjadi larangan ekspor bahan mentahatau pembangunan smelter. Padahal, substansi kebijakan ini jauh melampaui industri berat. Staf Khusus Menteri Investasi dan Hilirisasi, Sona Maesana, menekankan bahwa hilirisasiadalah soal penciptaan nilai tambah yang berkelanjutan, kemandirian ekonomi, danpembukaan lapangan kerja, serta penentuan arah masa depan bangsa. Ia melihat, daripengalamannya di dunia usaha dan kini di ranah kebijakan, bahwa hilirisasi hanya akanbertahan bila ekosistem investasinya sehat dan ada keberpihakan pada pelaku lokal. Karenaitu, ia menilai sekadar mendirikan pabrik tidak cukup; pertanyaan kuncinya adalah siapa yang menikmati nilai tambahnya dan bagaimana rantai pasoknya melibatkan anak bangsa secaraaktif. Dalam pandangannya, hilirisasi mesti membuka pekerjaan lokal, mengikutsertakan UKM, dan menaikkan kelas pengusaha Indonesia melalui kemitraan yang nyata. Di ranah kebijakan, Sona Maesana menjelaskan pemerintah mendorong integrasi antarapelaku lokal dan asing, memberi insentif bagi investor yang membina industri lokal, sertamenata regulasi yang transparan agar tumpang tindih perizinan berkurang. Ia juga menilaikecepatan dan kepastian perizinan lebih penting daripada angka komitmen investasi di ataskertas, karena tanpa eksekusi yang jelas, angka hanyalah janji. Sebagai jembatan antarabahasa investor dan bahasa pemerintah, ia mendorong cara pandang baru: bukan sekadar“menjual proyek”, melainkan menumbuhkan kepercayaan jangka panjang. Ia pun mengingatkan bahwa hilirisasi tidak berhenti pada mineral dan logam; sektor digital, pertanian, farmasi, hingga ekonomi kreatif perlu masuk orbit hilirisasi melalui keterhubunganstartup kesehatan dengan BUMN farmasi, petani dengan pembeli industri lewat platform lokal, serta skema yang mengkomersialisasikan inovasi kampus.  Di tingkat kelembagaan, peta jalan hilirisasi diperkuat oleh kolaborasi antarpemerintah, industri, dan kampus. Himpunan Kawasan Industri (HKI) menandatangani nota kesepahamandengan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, yang disaksikan Presiden Prabowo Subianto. Ketua Umum HKI, Akhmad Ma’ruf Maulana, menyampaikan bahwa kerja sama ini merupakan perwujudan AstaCita untuk mendorong kemandirian ekonomi, memperkuat keberlanjutan, dan mempercepatinovasi teknologi sebagai pilar pertumbuhan. Ia menegaskan peran HKI sebagai penghubungsektor industri, pendidikan, dan pemerintah untuk melahirkan daya saing berbasispengetahuan dan inovasi. Ruang lingkupnya meliputi penyelarasan kurikulum dengankebutuhan industri, kolaborasi riset untuk mempercepat hilirisasi dan menarik investasi, sertapeningkatan daya saing melalui pembentukan SDM industri yang unggul. Contoh konkret hilirisasi yang langsung menyentuh pasar tenaga kerja tampak di Aceh. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, Cut Huzaimah, menyerukan penghentianekspor karet mentah karena pabrik pengolahan di Aceh Barat, yaitu PT Potensi Bumi Sakti, siap beroperasi menampung seluruh produksi lokal. Ia menilai pengolahan di dalam daerahpenting untuk mendorong hilirisasi, membuka lapangan kerja, dan menaikkan kesejahteraan. Pabrik yang berdiri di lahan 25 hektare itu memiliki kemampuan mengolah 2.500 ton karetkering per bulan, dan pemerintah daerah menilai stabilitas serta keamanan investasi harusdijaga agar manfaatnya langsung dirasakan rakyat Aceh. Di klaster pangan–petrokimia, hilirisasi juga dikuatkan melalui kemitraan strategis. DirekturUtama PT Pupuk Indonesia (Persero), Rahmad Pribadi, menjelaskan bahwa perusahaanmemperluas kerja sama dengan Petronas Chemicals Group Berhad untuk memperkuatketahanan pangan regional sekaligus mendorong hilirisasi pupuk dan petrokimia di Indonesia. Kolaborasi ini mencakup penjajakan sinergi pasokan urea dan amonia, transfer pengetahuan teknis dan operasional, serta penguatan tata kelola Kesehatan, Keselamatan, danLingkungan (Health, Safety, and Environment/HSE).  Jika ditautkan, tiga simpul di atas, yakni kebijakan investasi yang berpihak pada pelaku lokal, penguatan link–match kampus–industri, dan proyek pengolahan komoditas serta petrokimia, menggambarkan logika hilirisasi yang lengkap. Lapangan kerja tidak hanya muncul di pabrikutama, melainkan juga pada efek pengganda: logistik bahan baku, jasa pemeliharaan mesin, kemasan, transportasi, layanan digital rantai pasok, hingga jasa keuangan dan asuransi. Dengan kurikulum yang diselaraskan, talenta lokal tidak sekadar menjadi tenaga operasional, melainkan juga teknisi, analis proses, dan manajer rantai pasok....
- Advertisement -

Baca berita yang ini