MATA INDONESIA, JAKARTA – Pemerintah diminta meninjau ulang soal rencana import beras sebanyak 1 juta ton setelah panen raya berakhir. Volume dan waktu impor sebaiknya ditentukan apda Juli atau Agustus ketika potensi produksi sepanjang tahun 2021 dapat diketahui.
Sekretaris Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Yadi Sofyan Noor mengatakan bahwa keputusan impor beras ini tidak sesuai dengan proyeksi produksi dalam negeri. Lebih lanjut, keputusan impor beras hanya akan mengaggung harga beras di pasaran.
“Sehubungan dengan adanya rencana impor komoditas beras. KTNA meminta pemerintah untuk meninjau dan mengkaji ulang kebijakan impor beras,” kata Yadi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi beras tahun 2020 mencapai angka 31,33 juta ton, jumlah ini meningkat dari tahun 2019, yakni sebanyak 31,31 juta ton. Sementara tahun 2021, produksi beras diprediksi akan kembali mengalami peningkatan.
Peluang produksi padi periode Januari-April 2021 diprediksi mencapai angka 25,37 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka ini naik 26,88 persen atau sekitar 5,37 juta ton bila dibandingkan pada periode yang sama tahun 2020 sebesar 19,99 juta ton GKG.
Beberapa wilayah Indonesia saat ini sudah memasuki masa panen, sebut saja Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Yadi menambahkan, periode Maret-Mei 2021, Indonesia memasuki masa panen raya. Hal inilah yang membuat KTNA meminta pemerintah untuk mengkaji ulang seputar impor beras.
“Diharapkan pemerintah melalui Bulog dapat menyerap dan menampung hasil produksi padi di daerah-daerah,” katanya.
“Mengingat impor akan berdampak pada penurunan harga jual hasil panen padi petani, serta membuat mental petani akan tertekan karena merasa kurang dihargai jerih payahnya selama ini,” tuntasnya.