KSPI NTT Akan Perjuangkan Kenaikan UMP 2025 Sebesar 10 Persen

Baca Juga

Minews.id, Kota Kupang – Upah Minimum Provinsi (UMP) di wilayah NTT menjadi salah satu topik yang akan kembali diperjuangkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) wilayah NTT di tahun 2025 mendatang.

Ketua KSPI NTT Sarlina M. Asbanu menyampaikan bahwa berdasarkan arahan dari KSPI Pusat, pihaknya akan kembali memperjuangkan kenaikan UMP bagi para pekerja di NTT.

“Kami harus berjuang untuk upah harus naik 10 persen di tahun 2025. Karena 2024 kemarin kami minta 15 persen tapi tidak bisa,” ujarnya kepada minews.id, Rabu 17 Oktober 2024.

Sebagai catatan, untuk UMP NTT di tahun 2024 sebesar Rp2.186.826 atau mengalami kenaikan sebesar 2,96 persen dari UMP tahun 2023 sebesar Rp2.123.994.

Saat ini, KSPI NTT sudah tergabung dalam Dewan Pengupahan Provinsi NTT. Adapun tugas Dewan Pengupahan Provinsi adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam rangka Penetapan UMP, Penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), dan Upah Minimum Sektoral (UMS), Penerapan sistem pengupahan di tingkat Provinsi.

Sarlina berharap dengan bergabungnya KSPI NTT ke dalam struktur organisasi tersebut dapat membantu untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja di NTT.

“Saya, Pak Sekretaris bersama Wakil Ketua, kami tiga orang sudah masuk dalam Dewan Pengupahan Provinsi NTT sejak tahun kemarin. Dan tahun ini kalau kami sedang menunggu undangan untuk kami sama-sama duduk dengan pemerintah untuk berbicara terkait kenaikan upah itu seperti apa,” katanya.

Selain itu, KSPI NTT juga akan terus memperjuangkan hak-hak buruh yang belum mendapatkan upah yang layak di NTT.

“Kami masih akan berupaya untuk menggali informasi-informasi yang lebih banyak lagi (terkait upah buruh yang masih berada di bawah UMP),” katanya.

Dirinya juga menjelaskan bahwa terkait skema pengupahan di NTT saat ini memang masih jauh di bawah standar yang ditetapkan. Para pengusaha dinilai memberikan upah tidak sesuai dengan UMR dan UMP yang berlaku.

“Karena setelah kami cek (upah yang diterima pekerja) itu paling tinggi itu satu juta. Padahal kan, UMR kan dua juta seratus tujuh puluh tiga. Sehingga sangat miris ya untuk kita di NTT ini. Makanya wajar kalau kita punya masyarakat, kita punya anak-anak, adik-adik, apalagi ada yang di dalam rumahnya itu mungkin kebutuhan ekonomi semakin meningkat. Tapi karena upah dan lapangan kerja tidak ada, wajar kalau kita punya basodara mereka ada yang pergi ke luar negeri untuk kerja,” ujar Ketua Exco Partai Buruh NTT tersebut.

Sarlina juga mengungkapkan bahwa saat ini KSPI NTT memilki anggota sekitar 3.000 pekerja yang sebagian besarnya masih mendapatkan penghasilan di bawah standar. Namun, masih banyak yang belum punya kesadaran untuk bergabung dalam serikat pekerja sehingga bila bermasalah di tempat kerjanya sulit untuk dibantu.

“Contohnya seperti CV Dona Mandiri Lasiana Branch yang pakai ibu-ibu rumah tangga ini untuk kerja wig (rambut palsu) tapi bayarnya tidak jelas, padahal kerja 1×24 jam dan kalau dihitung tidak sesuai dengan UMR. Belum lagi tenaga-tenaga sopir, konjak, itu kan upahnya juga tidak sesuai dengan UMR, padahal pekerjaannya beresiko tinggi. Begitu dipecat, mereka bingung. Itulah kita orang NTT.Kita mau melawan, kita takut. Padahal itu haknya kita,” katanya.

Maka, Sarlina pun berharap agar pada Pilgub NTT yang akan bergulir beberapa saat lagi, diharapkan masyarakat mampu memilih pemimpin yang peduli terhadap kepentingan masyarakat. Dan dirinya juga berjanji akan terus berupaya memperjuangkan hak-hak buruh di NTT dengan menjalin sinergi dengan pemerintah daerah setempat, DPRD NTT dan Dinas Nakertrans NTT.

“Di situ kami akan kerjasama untuk meminta supaya ada imbauan dari pemerintah dan kami serikat pun akan berupaya untuk mensosialisasikan ke perusahaan-perusahaan yang ingin berkerjasama dengan serikat untuk memperhatikan hak-hak para pekerja,” ujarnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pusaran Konflik di Pantai Sanglen Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Berangkat dari penutupan akses masuk Pantai Sanglen, Kemadang, Gunungkidul, yang dilakukan oleh Kraton Yogyakarta dan Obelix. Warga setempat, yang selama ini memanfaatkan lahan Pantai Sanglen untuk bertani dan mencari nafkah, merasa terpinggirkan. Mereka khawatir pengembangan pariwisata berskala besar akan mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal dan merusak lingkungan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini