Koran Express Gulung Tikar, Padahal Milik Orang Terkaya di Dunia

Baca Juga

MINEWS, INTERNASIONAL – Setelah 16 tahun bertebaran, koran Washington Post Express milik orang terkaya di dunia, Jeff Bezos, resmi tutup alias gulung tikar dan tidak akan diterbitkan lagi.

Edisi terakhir koran Express terbit pada Kamis 12 September 2019 lalu. Mengetahui koran tersebut berada pada edisi terakhirnya, publik pun ramai-ramai memburunya.

Terutama, mereka ingin melihat sampul edisi terakhir koran Express yang sarat makna. Dalam sampulnya, Express menggambarkan seolah-olah mereka adalah korban pembunuhan, dengan pelaku utamanya adalah smartphone atau telepon pintar.

Artikelnya pun sangat menohok. Express menyayangkan keputusan pemerintah yang memasang Wi-fi dari Metro DC, sistem angkutan cepat di Washington DC dan sekitarnya.

Selama ini, koran Express adalah salah satu hal yang paling dicari oleh para penumpang kereta komuter saat akan berpergian. Pada masa jayanya, di dalam gerbong komuter, hampir semua orang menikmati artikel-artikel pada koran Express, sembari menunggu tiba di tujuan.

Express mengaku mereka telah kalah saing dari konten digital yang mudah diakses oleh ponsel pintar. Bahkan, ketika kemunculan smartphone, Express mulai mengalami penurunan oplah, yang hanya mencapai 130 ribu eksemplar per hari, dari 190 ribu pada 2007 lalu.

Akibat ditutupnya Expres, semua staf publikasi dan jurnalis terpaksa diberhentikan. Para pembaca pun akan ditawari 60 hari uji coba gratis akses digital ke Washington Post.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini