MATA INDONESIA, JAKARTA – Hidup di lingkungan tradisi Islam yang kuat, Rangkayo Rasuna Said tidak sepakat dengan poligami dan perjodohan.
Penolakannya terhadap perjodohan dia tunjukkan saat menerima pinangan mentornya di Gerakan Thawalib dan Partai PERMI, Duski Samad yang berusia lima tahun lebih tua darinya.
Keluarga Rasuna tidak memberi restu karena perbedaan status sosial yang saat itu dipandang sangat penting dalam adat Mingkabau.
Duski memang taat beragama dan cerdas tetapi hanya berasal dari keluarga biasa, berbeda dengan Keluarga Rasuna yang bangsawan Mingakabau.
Meski ditentang, Rasuna yang saat itu berusia 19 tahun tetap menikahi Duski. Namun pernikahan itu harus berakhir setelah dia melahirkan anak kedua.
Alasan utama perceraian tersebut adalah kurangnya komunikasi di antara mereka karena kesibukan masing-masing.
Setelah bercerai dari Duski, dia justru lantang menentang poligami. Dia bahkan mengaku lebih memilih bercerai daripada dimadu. Tetapi tidak ada fakta yang menghubungkan antara suara lantangnya menentang poligami dengan perceraiannya dengan Duski.
Namun, hubungan Rasuna dan Duski masih baik sejak pernikahan tersebut, bahkan meski mereka kemudian berbeda pandangan politik. Di masa pemberontakan PRRI tahun 1958, Duski adalah mendukung pemberontak, sedangkan Rasuna berpihak pada Soekarno.
Saking akrabnya, Duski sering mengunjungi Rasuna yang sudah pindah ke Jakarta dan menginap di rumah sang mantan istri selama berhari-hari.
Melihat hal tersebut, Mohammad Natsir, tokoh nasional asal Sumatra Barat yang juga keponakan jauh Duski merasa khawatir. Dia tak ingin sang paman dan Rasuna diterpa gosip yang tak sedap. Kekhawatiran itu dijawab Duski bahwa dia mengerti ilmu agama.
Pada tahun 1937, Rasuna menikah untuk kedua kalinya dengan seorang pria bernama Bairun AS. Lagi-lagi pernikahan itu tak bertahan lama, namun mereka tidak dikaruniai anak.