MATA INDONESIA, JAKARTA – Rasa ketidakpuasan dan kesendirian rentan dimanfaatkan oleh kelompok teroris. Suatu kondisi ketidakpuasan memicu orang untuk mencapai sesuatu yang belum bisa digapai. Director of the Institute of Grief Care Sophia University Susumu Shimazono menegaskan bahwa ada fase dimana faktor individualistis bisa menyebabkan orang-orang mencari landasan hidup.
“Jadi individu jadi sendir dan masing-masing mereka mencari pegangan dan salah satunya adalah agama,” kata Susumo Shimazono dalam Webinar bertema Pelajaran dari Pengalaman Jepang dengan Aum Shinrikyo: Pemahaman tentang Latar Belakang Agama dan Pendekatan Psikologis untuk Deradikalisasi, Senin 8 Maret 2021.
Terlebih saat seseorang yang sudah melewati fase perekonomian yang mapan, menyebabkan mereka semakin gencar mencari tujuan hidup lain.
Sementara itu, orang-orang juga semakin individualistis sehingga peran komunitas dan keluarga terpinggirkan sehingga pengaruhnya tidak lagi begitu kuat. Hubungan antar manusia pun mulai melemah dan menyebabkan penurunan kebahagiaan.
“Hubungan antar manusia mulai lemah dan hal tersebut lah yang menyebabkan penurunan kebahagiaan dan pada giliran memicu tindak kriminal,” kata Susumo Shimazono.
Sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta Argyo Demartoto menegaskan bahwa karakteristik individualistik berpotensi memuculkan celah bagi aksi terorisme. Ketidakpedulian dan egoisme akhirnya mempermudah teroris melakukan aksinya.
Hilangnya budaya gotong royong dan renggangnya hubungan persaudaraan antar keluarga dan tetangga inilah yang memicu rasa ketidakpedulian tumbuh subur. Hal ini juga menyebabkan teroris merasa aman karena rasa individualistis masyarakat yang cenderung mementingkan diri sendiri.