MATA INDONESIA, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menegaskan bahwa gangguan psikososial pada anak dan remaja tidak bisa dibiarkan. Jika dianggap enteng, bisa membahayakan anak dan lingkungannya.
“Gangguan psikososial pada anak dan remaja bisa dianggap enteng, harus segera ditangani. Jika dibiarkan dapat menyebabkan efek bola salju dan berbahaya bagi anak itu sendiri, lingkaran pertemanan, dan lingkungan sosialnya,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, Jumat 9 April 2021.
Ia menegaskan bahwa gangguan psikososial pada anak dan remaja kadang tidak tampak. Namun, tanda-tandanya bisa dikenali.
“Oleh karenanya, perlu pengamatan khusus dari orang-orang di sekitarnya, salah satunya guru. Guru merupakan pihak yang obyektif dalam mengamati apakah seorang anak mengalami gangguan psikososial atau tidak,” kata Nahar.
Meski demikian, tenaga pendidik di satuan pendidikan pun juga masih ada yang belum menyadari kondisi gangguan psikososial yang dialami anak dan remaja. Hal ini pun berdampak pada penanganan terhadap anak.
“Jadi kalau ada peserta didik menampakkan perilaku yang tidak biasa dari sebelumnya, maka sekolah harus mulai menggali apa persoalan anak tersebut sehingga kita dapat melakukan deteksi dini,” kata Nahar.
Adapun, berdasarkan data hasil kajian Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan 2020 tercatat sebanyak 4,3 persen laki-laki dan 5,9 persen perempuan di tingkat SMP dan SMA memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Hal ini tidak lepas dari gangguan psikososial yang menimbulkan depresi sehingga anak bisa memilih untuk bunuh diri.